Pages

Saturday, June 13, 2009

Something lovely named Lala

Lala is something cute when she was a baby
Is anything pertaining to lazy
Is annoying when she got dizzy

But she also is someones nice to have a talk with
Someones great to have a battle with
Someones cool to make a friend with

It is more than just a pride to have her in family
It is a blessful gift



Lala, gadis belia yang aktif ini telah melengkapi aku dan Bunna, yang tadinya duet at home menjadi the trio. 16 tahun, black-messy-look hair, rebel style, and chilled.

Anggota rumah-termuda ini hampir selalu terlihat asyik dengan sesuatu. Bola basketnya atau tali skipping. Buku atau laptop. Kuas atau pensil warna. Tiba2 di dapur sibuk dengan apple pie, terkadang puding. Atau seharian di kamar saja bekerja dengan laptop, memasang headset ke telinganya sampai2 mumy tidak bisa menyuruhnya pergi ke warung. Belum lagi jadwal hariannya mulai dari sekolah, les, eskul, mengaji, sampe hang out bersama kawan2nya. Lala dan masa belia yang sedang dilaluinya, menjadi cerita yang tidak habis2.

Menggandeng tangan Lala saat berjalan di keramaian adalah hal yang menyenangkan. Dan aku membayangkan, kalau tidak ada Lala, akan sebeda apakah semua kenyataan tentang aku dan Bunna. Apakah kami akan menjadi sebagaimana diri kami hari ini?. Apakah akan menyenangkan pagi hari tanpa keributan tentang disiplin?. Apakah akan seru keluar makan tanpa mengingat-ingat menu kesukaannya?. Apakah akan menyenangkan menghabiskan waktu hanya berdua saja ?. Apakah akan sama rasanya pulang larut malam tanpa terkunci diluar, jika tidak ada Lala yang menghilangkan kunci serep dan tidur duluan?. Sepertinya tidak... I think we just love being mad yet dumbed, as long as she’s fine.

Nyanyian Freedy Johnston ”Love Grows Where My Rosemary Goes” entah bagaimana tiba2 saja mengingatkanku pada Lala.

She ain't got no money…Clothes are kinda funny…Hair is kinda wild and free
Oh, but love grows where my Rosemary goes…And nobody knows like me
She talks kinda lazy…People say she's crazy…And her life's a mystery
Oh, but love grows where my Rosemary goes…And nobody knows like me


Dan seperti pertautan batin, tiba2 saja mampir di monitor HP saya,

1missed call:
Lha2

Wednesday, June 10, 2009

Changes

Malam itu mumy masuk kamar. Aku masih berkaca-kaca, sedikit sembab, dan sengau.
“Mi…aku putus..”
Mumy menghela napas dan tersenyum.
“Mami senang deh, kalo gitu.”
Aku tertawa sebal, sambil merengek didepannya.
”Trus gimana ya, Mi...”
Mumy dan Ayah datang malam itu untuk mengajakku makan malam diluar. Kebetulan menjamu seorang tamu juga. Dan siapa yang mood untuk beramah tamah sedemikian rupa dalam kondisi putus cinta seperti yang kurasakan malam itu?. Aku bergeming. Tapi seorang ibu, selalu punya apa yang paling dibutuhkan saat genting.
”Adek, kalo laki2 putus sama kita, dia yang rugi. Bukan kita.”
Dan senyum pun mengembang, aku beranjak dan memilih gaun malam itu. Menikmati rasanya patah hati, dengan sebuah perayaan makan malam.

***

Sepenggal kisah seru jaman edan yang masih bisa kuingat, kadang menyisakan drama tersendiri. Bahkan jika Mum berbohong malam itu, untuk sekedar membuatku merasa lebih baik, aku akan tetap berterima kasih. Mum tahu betul yang dibutuhkan anak perempuan saat putus cinta hanyalah membesarkan egonya. Ia sedang sedih, sedang tidak ingin tahu tentang benar atau salah. Hanya ingin dipahami rasa nelangsa itu.
Okay, terlepas dari benar atau tidaknya cara ini, tapi, c’mon guys, it works. Dan lagipula, romansa-ku kala itu tak ubahnya lagu. Habis diujung liriknya. Seterusnya, putar lagu lain.


Tujuh tahun kemudian, saat menulis postingan ini, saya tersenyum-senyum. Apa yang membuat tersenyum, saya juga ndak tahu. Entah lucu atau bagaimana. Yang pasti, tidak ada pikiran untuk menangis seperti malam itu. Lalu saya tertegun. Hey... betapa silly!. Tidak pernah terlintas di benak saya malam itu, bahwa suatu hari, tujuh tahun kemudian, saat saya harus mengingat kembali semua pristiwa itu, saya melakukannya tanpa menangis. Bahkan tanpa merasa sedih yang tersisa, apapun. Malahan saya bisa mengingat detil sejarah putus cinta itu sambil tersenyum dan (sedikit) tertawa (merasa konyol).
Kalo saja malam itu saya bisa berpikir, tenang din..semua ini hanya akan jadi sejarah. Suatu hari kau bahkan akan bisa mengingatnya dengan tawa. Tentu tak perlulah saya kuras habis2an air mata. Haha, ini tidak solutif, okay sudahlah...


Inilah yang menarik, bahwa manusia ternyata punya potensi yang sangat besar untuk berubah. Saya bicara dalam aspek pikiran dan tindakkan. Tidak ada yang serba stagnan. Apa yang saya pikirkan hari ini, bisa jadi tidak saya pahami esok hari. Hal-hal yang tadinya terasa begitu penting, bisa jadi kehilangan maknanya suatu saat. Sebagaimana makna ”Kehilangan Pacar” yang tujuh tahun lalu membuat dunia saya runtuh seketika, kini hampir tidak saya rasakan efeknya selain romansa sejarah.


Ternyata memang, semua dapat berubah. Baik kita, maupun keadaan, dan hal-hal diluar diri kita. Mendung tidak selamanya. Panas terik juga tidak selamanya. Yang patah akan tumbuh. Yang hilang akan berganti. Dan hal-hal disekitar diri akan mempengaruhi kita lebih dominan dalam merespon satu pristiwa. Kemudian perubahan diri kita tadi akan membawa perubahan pada hal-hal disekitar kita. Dan begitu seterusnya.


Sebuah hakekat perubahan, sebenarnya. Sedangkan masalah kecenderungan (berubah) naik atau (berubah) turun, adalah masalah lain (yang mengikutinya). Teringat perkataan Rasulullah Saw agar tiap hari kita membuat peningkatan. Hari ini lebih baik dari kemarin. Dan Besok lebih baik lagi dari hari ini. Inilah yang kita pahami dengan lebih baik, bukan?

Pengetahuan tentang hakekat perubahan, yang sejauh ini banyak membantu saya dalam mengatasi masalah. Tak terkecuali masalah perasaan. Jadi kalau sedang sedih, atau gagal, atau takut dan cemas, saya berhenti sejenak dan memikirkan, tenang din..semua ini hanya akan jadi sejarah. Suatu hari kau bahkan akan bisa mengingatnya dengan tawa. Membawa diri saya lebih santai menjemput solusi.


***
Untuk romansa sejarah yang modelnya terus berulang dalam hidup gue. Sebetulnya malam itu tidak terlalu buruk. Si tamu Ayah ternyata masih anak muda juga. Dan tampaknya ada yang membocorkan rahasia malam itu, sehingga di mobil ia sibuk menjahili, ada yang lagi patah hati nih...
Huh, bicara soal sopan santun dan ramah tamah jamuan makan malam...^^

Wednesday, April 08, 2009

Para...digma...

Mungkin paradigma, yang akhirnya dapat saya klaim sebagai penjelasan. Atas kerumitan2 pola pikir yang kadang menjebak saya, sukap, dan segelintir orang, dalam pikiran yang berbeda. Hanyalah paradigma, kata Sukap, dalam obrolan kami suatu hari. Aku hening dalam pikiran yang menjelajah. Paradigma-kah, akar perubahan yang dicita-citakan peradaban itu?

Anda tahu film Perempuan Berkalung Surban?. Ambillah contoh kalau tiga orang dengan paradigma berbeda-menonton film tersebut. Orang positivistik akan dengan puas berkesimpulan bahwa film itu cukup menarik, menceritakan bahwa betapa beruntung orang2 dengan kebebasan-berani menyatakan dirinya berbeda meskipun itu harus menentang arus. Aliran konstruksionis akan sedikit sinis, bahwa film itu tidak sepenuhnya jujur. Bahwa film itu pasti terpengaruh Hanung Bramantya, sang sutradara, yang menangkap gambaran pondok pesantren sedemikian ortodoks, walaupun kenyataannya bisa jadi tidak begitu. Sehingga bisa jadi film itu disusun dengan sengaja mengakuisisi gambaran subjektif seseorang. Dan paradigma kritis akan lebih kusut lagi mempertanyakan apa fakta yang dapat tercium dibalik pembuatan film tersebut. Mampukah detil2 gambar dan adegan dalam film tersebut membawa kita sampai pada kesimpulan utuh. Tentang pikiran Liberalisme, misalnya? Mengapa buku2 Pramoedya dijadikan detil dalam beberapa adegan?. Mengapa adegan buka kerudung, hubungan suami istri, atau adegan di hukum dalam kamar mandi ditampilkan demikian detil?. Yang jawabannya menurut saya sederhana: karena demikianlah Islam ingin digambarkan kepada penonton. Dan seperti ulasan saya sebelumnya mengenai kebebasan (baca postingan Set Me Free), gambaran Islam yang ’dibuat-buat’ ini dihadapkan pada konsep kebebasan. Padahal tidak harus dari buku2 Pramoedya Ananta Toer, kita bisa mengambil referensi yang tak kalah segar dengan ide2 serupa. Dari kalangan ulama dan pemikir muslim, ide2 keadilan antara laki2 dan perempuan bukanlah hal yang kering sebagaimana ditampilkan dalam Perempuan Berkalung Surban. Sesuatu yang akhirnya mereka namakan kesetaraan gender itu, kebebasan itu, seolah-olah jadi topik gersang dalam paradigma Islam. Padahal dalam kenyataannya, jika saja kita mau mengkaji Al-Qur’an dan risalah dakwah Rasulullah, Islam justru turun dengan ide utama keadilan dan hak asasi manusia (kebebasan) jauh sebelum pihak2 tertentu mengklaim ide tersebut.

Paradigma kritis, adalah saat anda mulai menyadari mulai dari hal2 kecil. Seperti anda menyadari mengapa desain rak2 rendah sedemikian rupa pada minimarket, dan kasirnya selalu di dekat pintu. Mengapa troli2 belanja di departemen store dirancang sedemikian besar dan lengkap dengan baby seat. Sampai pada hal2 yang lebih kompleks. Seperti mengapa pada saat beberapa koran serempak menampilkan headline isu politik, koran tertentu malah memilih headline isu agribisnis. Mengapa saat pemberitaan agresi israel terhadap palestina genar hampir di seluruh media elektronik, Metro TV malah getol dengan isu bencana lokal.

Saya mulai mengingat-ingat kapan terakhir kalinya saya percaya pada isu di media cetak dan elektronik. Saat mumy kuatir bukan main wabah flu burung melanda Indonesia tempo hari, saya lambat-lambat mulai kuatir flu burung bukan masalah sederhana. Bukan sekadar wabah penyakit yang timbul tanpa sebab. Dapatkah kita membuktikan bahwa flu burung sebenarnya adalah sebuah skenario anggun ekonomi dunia untuk menjatuhkan krisis ekonomi dimana-mana? Dan sementara masyarakat begitu panik dengan penyakit ini, resesi ekonomi mulai merembes... menjangkiti wilayah makro dan menimbulkan penyakit dengan wajah lain yang tak kalah ganasnya; krisis ekonomi asia.

Saya mengingat-ingat, bahwa memang pada situasi tertentu, fakta dibalik fakta itu memang mudah ditemui. Dan kadang menjadi jengkel mengetahui kita berada dalam sebuah skenario, adalah tanda2 kita penganut paradigma kritis itu. Bahwa tiba2 saya tidak setuju pada beberapa hal yang sebelumnya tidak saya permasalahkan.

Kenyataannya, hal2 yang terpengaruh paradigma ini memang begitu merepotkan. Misalnya, kadang saya jadi dianggap kurang rileks. Komentar2 seperti ”Ya ampun Din, santai aja kalee... cuman film doang.. Lu tegang amat.” atau ”Ah, kamu, Din. Udahlah, banyak hal yang diluar jangkauan kita". Dan betapa menyesakkan tiap kali harus berbeda dalam hal2 yang lebih penting. Dalam merumuskan tujuan bersama, misalnya. Membuat orang lain melihat sesuatu , sebagaimana kita melihat sesuatu itu, bukanlah perkara gampang.

Saya enggan terburu2 mengklaim sebuah paradigma sebagai ciri utama diri saya, atau seseorang. Yang ini, atau yang itu. Karena kadang kita jadi salah kaprah. Dan seperti seorang sahabat saya suatu hari pernah berkata, ”Ideologi itu seperti udara yang kita hirup. Kamu ga bisa milih unsur tunggal”. Dan cita2 peradaban Islam itu tentulah telah lama terwujud, seandainya paradigma itu telah lebih dulu kita bangun dalam dimensi visi.

Jadi saya memilih untuk menikmati setiap kali lintasan paradigma mengaduk-aduk isi kepalaku. Bahwa saya tidak sekedar melebih-lebihkan sesuatu atau malah mengurang-ngurangkan. Bahwa akal pikiran memang ada, dan dengan-nya-lah kita membawa diri tahap demi tahap mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Dan bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Tentu saja, kita selalu bisa berkompromi dengan itu.



Thanks to,
Teman2 redaksi yg penuh inspirasi. Dan paradigma itu kita bongkar pasang disana.

Thursday, April 02, 2009

Topik dalam Jenuh? Tidak ada..

Hujan turun deras. Aroma khas-berbau debu dari tanah basah-terangkat ke udara, masuk ke penciumanku. Mengingatkanku pada rumah, dengan intensitas hujan yang sangat sering di Bangka, aroma seperti ini sering muncul. Menenangkan jiwa.
Saya sendirian saja di kamar, menyusun postingan kali ini (akhirnya!). Sambil mengingat-ingat kembali rentetan aktivitas sepanjang bulan ini, tema besar seharusnya adalah seputar penyelesaian skripsi. Sebelum akhirnya berubah jadi tema-tema lain. Ahh, anda tau-lah. Sesuatu bernama ketidak konsistenan itu...

Minggu-minggu ini saya tidak teralalu antusias membaca topik berat. Mungkin sedang jenuh. Alih-alih menyelesaikan beberapa buku ekonomi ideologis dari daftar bacaku, saya memilih topik-topik ringan yang cukup menghibur dan yang paling penting, menjaga paradigma kritis memandang hidup ini.

Ada beberapa judul baru yang cukup asyik dapat saya temukan, diantaranya ”Memoar Seorang Filosof” karya Bryan Magee. Dan sebuah buku yang bercerita tentang bagaimana hormon mempengaruhi seorang aktris terkenal yang sekaligus seorang istri dan ibu, Brooklyn Shields. Bukunya berjudul ”Pospartum Depression” kalo ga salah. Saya pikir layak anda jadikan raferensi untuk bacaan ringan. Keduanya cukup inspiring. Selain itu, saya juga menambah koleksi bacaan bernuansa feminis, kali ini berupa karya fiksi (novel) 634 halaman berjudul ”Brick Lane” karya Monica Ali. Tidak bisa dibohongi, buku ini menururt saya sarat dengan nuansa feminis, dengan mengangkat kisah (fiktif) seorang gadis belia dari desa Mumbay-India, bernama Nazneen. Kelak di akhir cerita, Nazneen yang tadinya sangat lugu dan dan cenderung pasif, bahkan tidak menikmati pernikahannya, bermetamorfosis menjadi istri dan ibu yang cerdas, dan berhasil menyelamatkan bahtera pernikahannya. Dari hidup yang awalnya membosankan (Sungguh! Saya sampai betul2 bosan membaca bagian2 cerita ini, seolah tak terbayangkan bagaimana hambarnya hidup Nazneen. Saya skip sampai beberapa bab saking bosannya) sampai pada kebahagiaan di akhir cerita. Unsur paling kental dari feminisme tertuang dalam ide kesetaraan peran (gender). That is all about.

Anyhow... Saya malah jadi menyoroti latar belakang ”Brick Lane” yang settingnya di sebuah daerah kumuh di India bernama Mumbay. Awal Maret lalu, anda pasti tahu, sebuah film dari negri ini (juga berlatar cerita di Mumbay) ”Slamdog Millionaire” telah meraih delapan piala oscar. Ada apa dengan Mumbay??. Ide film itu sangat sederhana sebenarnya, tentang keberuntungan. Thats it! Tidak banyak unsur edukasi dan nilai moralnya. Selain karena idenya yang mungkin fresh, latar budaya ekses dari kemiskinan penduduk negri tersebut-juga secara blak-blakkan dipamerkan pada dunia. Orang Hoolywood bisa jadi senang dengan yang beginian, jadilah dengan gegap gempita delapan oscar mereka (Slamdog Millionaire Crews) boyong pulang.

Hey... lihatlah, saya jadi malah mengajak anda ngobrol ga penting. Ha3...
Memang benar, saya sedang tidak punya topik khusus. Saat ini bagaikan ada benang kusut dikepala saya. Mengurainya satu persatu adalah proses yang tidak mudah, dan kadang saya begitu letih bermain-main dengan pikiran saya sendiri. Saya memaksakan diri untuk tidak hanyut dengan itu semua.

Jika kalimatullah itu adalah hujjah, maka semua interksi dan koneksi di alam semesta ini adalah terjemahannya.
Dan jika semua ini terlalu membingungkan, tugas kita adalah menemukan jawabannya. Apapun caranya!

Hujan mulai berhenti, menyisakan tetes-tetes air dari ujung genting, dedaunan, dan tempat mana saja yang kuyup diguyurnya sedari tadi. Saya masih dikamar, kali ini ada yang ringan dikepalaku. Beberapa pesan Ny.Sukab masuk, mengingatkan saya tentang agenda-agenda, tawaran ke luar kota, dan kesibukkan yang menanti akhir minggu ini. Lihatlah, saya memang tidak punya ruang untuk meaningless stuff. Seharusnya saya ingat itu baik-baik. Dan akhirnya beranjak, sebelum Ny.Sukab menunggu terlalu lama untuk acara sore ini. Ada banyak agenda rupanya...

Friday, February 20, 2009

Halaman Kosong...

Halaman kosong, di waktu yang kosong malam ini. Adakah waktu yang kosong itu? Saya tertawa, karena tahu jawabannya.

Halaman masih kosong, sekosong pikiran saya pada detik-detik paling sadar. Sekosong ruang-ruang yang saya temukan pada dimensi yang paling ramai. Sekosong suara orang-orang di telinga, yang saya dengar paling bising meneriakkan perubahan.

Sebuah halaman kosong, ditulis dengan tangan kosong. Entah untuk mengisi kekosongan, atau untuk mengosongkan isi. Sekosong jawaban-jawaban yang saya dapati atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sekosong nilai hampa. Sekosong batas harap dan putus asa.

Jadi,
Biarkanlah sebuah halaman kosong bercerita banyak hal. Bahkan tentang makna yang kosong.
Sekosong aku...

Friday, February 06, 2009

Surat Kaleng

Menjumpaimu, Bung, di belahan bumi yang jauh...


Assalamu'alaikum, apa kabar Bung?. Saya mungkin saja tahu jawaban Bung kalau ditanya tentang kabar. Dan rentetan cerita mengasyikkan tentang waktu yang terlampaui, tentang hidup. Saya menyukai cerita-cerita Anda, Bung. Dan semuanya cukup untuk membuat saya teringat-ingat sambil senyum-senyum sendiri.

Ahh.. Bung, pagi ini saya terbangun dari tidur dan menyalakan televisi. Berharap mendengar kabar yang baik seputar isu-isu negri kita ini. Tapi kabar baik sungguh jarang terdengar jika sudah bicara kesejahteraan bangsa. Saya ngenes...
Tapi sudahlah Bung, saya sekali ini menulis untuk Anda, jangan jadikan surat ini seperti teror. Kita kan kawan lama, pernah susah bareng, senang bareng. Anggaplah ini sebagai silaturahim saya, kawan lama yang begitu bangga pernah dekat dengan Bung jaman kita studi dulu. Itung-itung, saya tidak hadir (tidak diundang) waktu syukuran kelulusan Bung.

Bung (eh, saya merasa segan memanggil Anda dengan sapaan akrab kita dulu)- sekarang saya dengar sudah menjabat orang penting di kampung Anda ya? Wahwah selamat ya... Tidak nyangka deh, Anda kan dulu paling anti dengan birokrat dan menganggap hampir semua mereka 'orang nakal'. Saya lega sekali, dengan semua prasangka Bung kala itu, saya yakin Bung tidak ingin jadi salah satu diantara mereka yang dikatakan 'orang nakal' bukan?.

Jadi, bagaimana kemajuan yang sudah anda buat disana Bung? kalau saya terakhir kali pulang kampung di buat stres karena Ayah saya mengeluh terus soal pengiriman balok timah keluar perusahaan yang sering tersendat. Tau sendiri lah Bung, berapa kerugiannya kalau sehari saja terlambat diangkut. Yang bikin stres Bung, ulah birokrat yang 'nakal' tadi itu loh... Saya tidak tahu betul bahwa mereka ikut andil dalam prosedur pengiriman yang terkendala, sampai saya dengar sendiri Ayah saya misuh-misuh dimintai duit segala Bung, apa nggak keterlaluan ya Bung!
Padahal waktu itu mbah putri saya baru meninggal dunia, dan kami sekeluarga masih berkabung, berkumpul di kediamannya. Tiba-tiba Ayah saya sudah sibuk dengan handphone, wara-wiri, rupanya disuruh antar duit dengan cepat. Saya yang bingung, akhirnya dikasih tahu, kata Ayahku, Pak Kapolda ngajak 'diskusi', biar pengiriman timah lancar. Harus siapin duit pula, katanya, yang bikin saya makin bingung. Rupanya 'diskusi' yang dimaksud itu... yah... Bung bisa tebak sendiri-lah.

Gimana-lah Bung, saya kaget bukan kepalang. Berani-beraninya ada orang melakukan tindak pemalakkan begini didepan mataku, dan tanpa risih sedikitpun, menembak Ayahku sekian juta untuk meloloskan pengiriman. Padahal prosedur legal yang dilakukan perusahaan, bukan ilegal. Jadi apa yang harus dipersulit, Bung?. Dan sungguh menggelikan bagaimana semua itu diselesaikan, yaitu dengan uang. Saya begitu shock, megulang-ulang pertanyaan pada Ayahku, "Dia minta terang-terangan, Yah? Minta sekian, gitu?".
"Iya, minta lima belas juta gitu" kata Ayahku.
Rasanya tertohok, Bung! Kemana urat malunya, alangkah edan di bulan Ramadhan melakukan tindakan malak begitu. Bung, di terminal-terminal pasar saja, preman-preman jalanan berhenti dari kegiatan malak, karena bulan Ramadhan. Mereka ganti profesi sementara jadi yang lebih manusiawi, seperti jual asinan, gorengan, atau paling banter duduk-duduk deket Istiqlal, ntar ada yang kasih infaq. Lha, orang ini malah terang2an memeras Ayahku. Bung... Bung... itukah sebabnya, Bung dulu begitu benci dengan mereka ini? Lantas sekarang masih benci atau tidak Bung? Adakah alasan yang dapat diterima terhadap tindak pemalakkan, atas sebuah prosedur pengiriman barang yang legal oleh sebuah perusahaan?. Saya jadi berpikir, pastilah jumlah THR untuk golongan si-pemalak ini dirasa kurang banyak baginya.

Bung, kalau ada teman-teman Anda yang seperti itu, tolonglah nasehati mereka perlahan-lahan. Saya kasihan dengan Ayah saya, Bung. Dulu Bung juga dekat dengan Ayah saya bukan? tanda-tanda cari perhatian, hehe...
Lebih kasihan lagi dengan teman-teman Bung itu, rejeki yang diambil dari perbuatan itu kan ndak halal. Eh, bener gak, Bung? Atau menurut Bung malah halal-halal saja? Ha3, saya kan sudah lama nggak diskusi nih Bung, siapa tahu saja sekarang pandangan Anda sudah berubah... Tapi, kalo saya bilang, itu nggak halal Bung.

Bung, karena kejadian tersebut, saya mati-matian cari sumber-sumber syariat. Saya tahu betul bahwa perbuatan suap dilarang Allah SWT. Saya menjelaskan pada Ayah saya(melaui diskusi yang alot) agar berhati-hati, jangan samapai tergelincir. Dan beliau bisa menerima itu, Alhamdulillah. Saya tidak tahu persis bagaimana akhirnya masalah tersebut ia selesaikan. Itu, Bung. Kalau kita sayang keluarga, kita lindungi mereka dari hal-hal keji. Dari api neraka, na'udzubillah...
Nah, bagaimana dengan Bung sendiri, sayang tidak dengan keluarga Bung? Dengan kerabat sesama pejabat dan birokrat? Dengan penduduk negri ini Bung? Sampai kapan kita menjerat masyarakat dengan prilaku yang dilarang Allah, dengan sistem suap menyuap yang membawa kita pada dosa? Siapa yang harus kita rubah, Bung? sistem ataukah orangnya? Katakan pada saya sebagaimana dulu Bung bercerita, dengan mata berbinar, tentang sebuah cita-cita besar untuk negri kita.

Bung, saya harap semua cerita itu kini bukan sekedar cerita lagi. Tapi perbuatan nyata. Semoga surat ini tidak memojokkan, seperti yang saya katakan di awal, melainkan menggugah Anda, paling tidak, jadi tahu apa perbuatan relasi Anda terhadap salah seorang warga sipil. Semoga memoar masa lalu senantiasa menjadi penyambung, untuk kebaikkan di masa datang.
Anda bebas menafsirkan makna Bung, bahkan jika Anda menganggap saya menaruh perhatian pada Anda.Sebagaimana orang mukmin harus saling menyayangi, nasehat-menasehati, dalam kebenaran dan kesabaran. Perasaan semacam itu normal, wajar, tidak ada yang aneh. Dan tak pernah pupus.

Tak usah dibalas Bung, pasti tak sempat. Jangan sibukkan diri Anda dengan membalas surat, berbuat sajalah.
Wassalamu'alaikum.

Tuesday, February 03, 2009

Set Me Free

“Kau percaya sekali pada kebebasan ya?”, tanya saya, retoris. Hani yang duduk di sebelahku, mengaduk-aduk gelas yang berisi es teh di hadapannya, tampak tenang.
“Ya. Kalau tidak, kenapa aku begitu memperjuangkannya?”, jawabnya kalem.
Hujan rintik2 di luar ruangan. Kami dalam kondisi setengah kuyup karena nekat menerobos hujan lebat dari prambanan, mampir untuk makan siang di sebuah restoran bali favoritku.
Obrolan terus mengalir, Tea menceritakan tentang beasiswa yang sedang ia tunggu hasilnya, sementara sebuah kampus di Belanda telah mengundangnya untuk tahun ajaran terdekat.
”Aku tertarik dengan hukum air. Skripsiku juga seputar itu,” ceritanya.
”Yeah, pernah dengar, siapa menguasai air, dia menguasai dunia?”, Hani menimpali. Mereka terkekeh-kekeh.
Langit masih menyisakan rintik-ritik hujan. Kami berempat membagi tempat di saung Bali yang luas, ditemani minuman teh dalam gelas yang tinggi-tinggi. Lama tak bertemu, membuat waktu seharian rasanya tidak cukup untuk berbagi kisah. Jika ada perubahan mencolok dari masing2 kita, tidak lain adalah cara pandang terhadap hidup. Ditengarai suara rintik hujan, dengan riuh rendah suara tiga sahabatku yang sedang asik berdiskusi, pikiranku melayang jauh. Mengenang kembali diri2 kami tujuh tahun yang lalu. Dengan seragam putih abu-abu, rasanya waktu itu baru kemarin. Saat kita begitu asyik dengan kehidupan ala remaja SMA. And life seemed so simple.
Dan jika ada hal yang tidak berubah sama sekali dari kita, adalah persahabatan itu sendiri.
Kita sahabat tua. Tua dan hebat.


***
Saya tidak pernah betul2 percaya pada kebebasan, bagiku itu hanya ada di awang-awang. Tidak ada manusia yang sepenuhnya bebas, selama ia manusia.
Manusia memiliki kecenderungan untuk membutuhkan ‘sesuatu’ di luar dirinya. Karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Itu pasti. Jadi selama kita manusia, kita bergantung dengan manusia lainnya. Maka dalam sudut pandang ini, manusia tidak bebas.
Manusia juga memiliki kecenderungan hasrat. Desire. Keinginan. Ini sifat dasar yang melekat pada diri. Namun tidak semua keinginan manusia dapat ia penuhi. Terutama jika keinginan itu terbentur dengan keinginan manusia lain. Dalam hal ini berarti, manusia juga tidak bebas.
Jika definisi kebebasan adalah ketika seseorang dapat melakukan apapun yang ia inginkan kapan pun dan di mana pun, saya akan dengan senang hati membeli tomat ke pasar dengan hanya membayar setengah harga. Untuk alasan yang sederhana; karena saya bebas menginginkan tomat itu. Tapi manalah mungkin hal itu saya lakukan, karena alasan sederhana pula; penjual tomat pun punya kebebasan untuk menjual tomatnya pada harga tertentu. Saya pasti akan dihajar preman pasar akibat ulah tersebut. Pak Adan Smith pasti akan tertawa tebahak-bahak melihat saya, karena ia pernah menasehati dunia dengan teori ’Tangan Tak Nampak’nya yang tersohor (yang padahal pada kenyataannya ’mengintip’ pemaparan ekonom muslim gemilang; Abu Ubayd). Dalam hukum kebebasan pasar, kekuasaan ada di tangan harga yang dibentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran. Jadi lihatlah, saya, tomat, dan si penjual tomat, bahkan tidak bebas dalam urusan ini. Ada mekanisme yang alami yang mengatur pengendalian atas kebebasan kami masing2.
Dan sebuah logika sederhana, ada ’bebas’, berarti ada ’tidak bebas’. Tapi bagaimana jika ’bebas’ itu sendiri sebenarnya adalah ’bebas yang terbatas’. Sama saja dengan ’tidak bebas’. Kepala saya puyeng dibuat oleh obrolan kami yang panjang...

”Jadi apakah makna bebas itu sebenarnya?”, saya meminta penjelasan pada hani. Hani membantuku memahami makna kebebasan sebagaimana ia pahami.
”Apa kita perlu memberi definisi terhadap ’bebas’ dulu?”, katanya, membuat kami tertawa dengan nada yang malas. Diskusi yang melelahkan.
”Aku akhirnya tidak percaya pada kebebasan, sebelum menemukan definisi secara jelas,” saya apatis.
Hani menatapku, ”Din, jadi kau hanya percaya pada hal2 yang terdefinisikan dengan jelas?”
”hmm...” saya tidak langsung menjawab, ”aku ’enggak percaya’ maksudnya, aku ’enggak akan memusingkannya’. Membiarkan, begitu tepatnya Aku memilih tema lain alih-alih ’kebebasan’ dalam hidupku.”
Kami semua tampak puas.
”Seperti aku tidak percaya pada cinta. Cinta sebelum pernikahan, tepatnya.” saya melebarkan diskusi, tema sekonyong-konyong berubah, jadi ‘cinta’.
“Dan itu artinya…” sahabat2 diskusiku kini lebih tampak seperti sahabat2 remaja bicara cinta pertama, antusias.
“Artinya cinta tidak akan menjadi pertimbanganku dalam memilih pasangan hidup,” pernyataanku barusan terdengar demikian sarkatis, bahkan bagi telingaku sendiri.
“Jadi, kau akan menikah karena apa…?”
Aku hanya tersenyum, ahh... terlalu naif untuk dijelaskan. Aku permisi mandi, teman2ku tidak mendapatkan jawaban memuaskan.

***

Demikianlah, tema2 seputar kebebasan selalu menarik untuk dibahas. Meski hingga saat mengedit kembali postingan ini-pun, saya belum paham betul maknanya. Saya ingin sekali memahaminya sebagaimana hani memahaminya. Saya selalu tertarik dengan hal-hal yang membuat seseorang meyakini sesuatu. Namun waktu terlalu singkat untuk itu semua.
Tema-tema tentang kebebasan juga selalu manarik bagiku. Terutama karena antithesis utama dari paham kebebasan adalah agama. Ketika seseorang menganut paham kebebasan, maka penjara utama baginya adalah agama. Mungkin karena agama secara eksplisit adalah benar dan salah. Dosa dan pahala. Neraka dan Surga. Sehingga wajahnya senantiasa tampak menyebalkan bagi orang-orang pengusung nilai kebebasan.
Saya teringat dengan petikkan ayat Al-Qur’an:
Laa ikrahaa fiddin... (QS Al-Baqarah : 256)
Tidak ada paksaan dalam beragama... Jadi, jika doktrin kebebasan menunjuk agama sebagai ’penjara’, setidaknya agama tidak pernah menunjuk penganutnya sebagai ’terpidana’.
”Mengapa pula aku ingin bebas? ” tanyaku. “Beginipun aku bahagia, tidak pernah merasa terkungkung dengan syariat yang kuyakini.”
”Mengapa kita harus memperdebatkan sesuatu yang kita tahu dalam hati, kita menginginkannya. Kita semua ingin bebas, kan? Siapa yang tidak mau bebas?” jawaban menyambut saya.

Saya terdiam lama. Tiga hari yang menyenangkan bersama Dita, Tea’, dan Hani (Nyek), sahabat2 tua-ku ini, tidak ingin kuisi dengan hal2 lain lagi. Selain mengetahui bahwa kami baik2 saja. Kami masih waras, masih menegakkan shalat lima waktu. Dan kami masih sahabat, saya berdoa semoga kita akan baik2 saja dengan itu semua, bukan begitu kawan-kawan ?.

Akhirnya hati-lah yang menguasai diri saya, ”Dari semua hal yang harus saya temukan dalam hidup ini, hanyalah sebuah hakekat tentang kebenaran Tuhan. Setelahnya, tinggal mengikuti aturan Tuhan saja. Tak perlu lagi mencari kebenaran neraka dan surga, kebebasan dan kekuasaan... Aku yakin semua akan berjalan baik2 saja. Karena ada Tuhan. Dan Tuhan, bukan kebebasan.”
Hani berkata, ”Kau masih Dinda yang dulu.”
Aku pun berkata, ”Jauh di dalam sana, kau tetap Hani yang kukenal dulu.”




Ini untuk Hani yang mengaku humanis, setelah sempat radikal dengan feminisme
Untuk Dita yang sibuk dengan indeks saham gabungan, 8 to 5 setiap hari,
dan untuk Tea’ yang mengaku feminis, dan menolak segala hal di luar ‘intelegensia’
Kalian memang inspirasi!

Sunday, February 01, 2009

Untuk Ibu

Mumy... Happy Birthday...
Saya punya kebiasaan saat sedang berulang tahun, saat semua orang mengucap selamat padaku, saya mengucapkan selamat pada ibuku.

Ibuku: ”Selamat ulang tahun ya, nak... Semoga cepet lulus, dikasih yang terbaik oleh Allah...”
Saya: ”Makasih Mi... Mumy juga selamat yah..”
Ibuku: “Selamat kanapa?”
Saya: “Selamat hari melahirkan aku… Bukan hanya Dinda yang selamat, Mumy juga kan udah berjuang keras hari itu. Makasih ya Mi... ”
Ibuku: *tertawa ”Iya, maksih ya sayang..”

Jadi, pas milad, Mum mengucapkan selamat hari lahir padaku. Dan aku dengan senang hati mengucapkan selamat hari melahirkan padanya. Beliau ibu. Yang menanggung semua perih saat memperjuangkan satu nyawa terlahir ke dunia hari itu. Rasanya tidak adil jika kebahagiaan hari lahir hanya menjadi milik si anak. Jadi jika Anda berulang tahun, Jadikanlah itu moment, tidak hanya untuk mengenang diri Anda sendiri, tapi juga untuk sesorang yang pada hari itu begitu berjasa, mempertaruhkan maut demi nyawa Anda.
Nah, hari ini Mum berulang tahun, aku minta Mum melakukan hal yang sama pada nenek. ”Mi, Mumy ucapin juga ke Nenek dong. Selamat hari melahirkan...”, dan ibuku hanya tertawa.

Dari kecil, kalau Mum ulang tahun, aku pasti menawarkan hadiah padanya.
”Mumy mau hadiah apa dariku?”. Tapi Mum tidak pernah menjawab eksplisit, mungkin karena aku masih kecil. Biasanya Mum tersenyum, lalu balik bertanya, ”Adek mau kasih hadiah apa emang? Mami terserah dikasih apa saja yang adek suka.” Siip. Mum bilang apa saja yang aku suka. Anda tahu, tanpa pikir panjang, saya ke warung terdekat dan beli aneka coklat yang saya suka. Minta penjualnya di bungkus kado, atau saya bungkus sendri, atau kadang tanpa bungkusan formal, paling banter pake kompek (kresek item). Lalu bikin kartu ucapan. Lalu kasih ke Mum dengan gaya yang surprise abis. Dan setelah mengucapkan terima kasih, membuka isinya, Mum akan mengembalikan coklat2 itu padaku. Mum sendiri tidak kebagian apa2. Boro2 marah dan manyun, Mum biasanya tertawa dengan kebiasaanku ini. Selalu begitu. Tiap tahun Cuma berubah jenis jajanannya saja. Tahun ini coklat, tahun depan bisa Taro, bisa Chiki, bisa Chotose, dan Chi yang lainnya. The point is… sesuatu yang akan berakhir untukku. Begitulah Mum mendapat hadiah dariku bertahun-tahun lamanya. Tapi tebaklah, beliau mengingat terus kenangan ini, dan untuknya, moment2 tersebut begitu berarti. Sampai Sekarang jika saya menanyakannya, “Mi, mau hadiah apa nih Mi..” beliau akan menjawab santai “Jangan coklat deh, ntar adek yang makan sendiri.” Dan kami berdua akan tertawa.

Tiga hari yang lalu, saya bertemu kakakku sedang online. Pada statusnya tertulis, Happy birthday Mumy. Saya pun ngobrol dengannya, tentang rencana memberikan surprise untuk Mum. Tapi selalu, kado yang kami hadiahkan kalah gengsi dengan pemberian Ayah. Kami mengahdiahkan paling banter kecupan di pipi Mum, plus mini tart (padahal Mum biasanya sudah bikin black forest sendiri, dan lebih enak). Tapi biarlah.. Mum memang ratu di hati kami semua.

“Mumy, selamat ualng tahun yah… Dinda, Kakak, dan Lala mau bilang makasih untuk Mumy. Yang sejak kami melihat dunia, Mumy selalu ada disana. Yang telah menjadi sahabat terbaik bagi kami sejak kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Yang membantu kami mandiri, berkepribadian, dan penuh kasih sayang. Yang mendoakan kami siang dan malam. Mumy sangat banyak membantu kami, hingga menjadi diri kami seperti saat ini. We loph u so, Mi...”

PS: Ayah nitip salam. Cowok Mum itu bilang katanya blog ini nanti mau diliatin ke Mumy. Hihihi... SURPRISE!!!!

Sunday, January 25, 2009

Introducing my partner; Ny.Sukab

Hi, Pembaca yang baik…
Betapa senangnya saya, postingan kali ini tidak muncul terlalu lama setelah yang terkhir. Mudah-mudahan ini cikal bakal konsistensi saya sebagai pengelola account.
Anyhow...
Saya pernah berjanji akan mulai menyelipkan cerita tentang seorang sahabat, Ny. Sukab. Jadi, marilah pertama-tama kita menyimak tentang sosoknya.
Saya sering memanggilnya Ny.Sukab terutama karena kami sangat terpengaruh dengan tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma tentang sesosok tokoh bernama Sukab dalam buku Surat dari Palmerah (baca postingan sebelumnya). Saya dan Ny.Sukab menghabiskan waktu bersama. Kami berbeda dalam banyak hal, sejujurnya. Namun kesemuanya membentuk harmonisasi yang indah dalam ikatan ukhuwah persahabatan. Adapun persamaan yang menonjol diantaranya... kami suka membaca. Suka sekali. Perpus atau toko buku selalu mampu membuat kami betah berlama-lama didalamnya. Menyukai diskusi, mulai dari topik paling berbobot tentang politik, ekonomi, sosial, sampai topik paling gak penting seperti ”Tempat makan mana yang menyediakan porsi kentang goreng paling banyak sampai yang paling sedikit” (Kami sepakat bahwa yang paling banyak adalah Parsley dan yang terakhir adalah Yakitori). Saya dan dia juga Food Adventurer, paling senang kalo bisa nemu tempat makan baru (Tapi dalam hal ini kami pikir masakan ibu adalah makanan terlezat di dunia). Kami berdua juga manusia air, alias sama2 menyukai olahraga renang. Saya bersyukur atas hal ini, karena cukup sulit menemukan orang yang bisa terhibur dari stress dengan berolahraga. Menurut kami, renang adalah The easiest celebreation. Kalau lagi bete, kami langsung cabut ke kolam renang. Kalau lagi hepi juga ke kolam renang. Mau hujan, mau panas, mau siang, atau malam, kami cinta berenang. Ny. Sukab berenang jauh lebih baik dari saya, saya sejauh ini belum bisa mengalahkannya bahkan satu putaran pun. Perjalanan ke berbagai tempat selalu membuat kami bersemangat. Bagi kami, petualangan adalah segala hal yang mampu membuat adrenalin terpompa. Kami membuat rencana2 untuk terus menemukan keasyikkan dalam ritme hidup yang complicated ini. Sama-sama tidak menyukai sifat melankolis dan hidangan jeroan.
Ny. Sukab adalah tipikal wanita mandiri yang sigap dan dapat diandalkan. Wawasannya yang luas dan keberaniannya mengambil peluang (kadang nekat) adalah hal yang paling berpengaruh bagiku. Sikapnya cenderung tidak ambil pusing dengan hal2 remeh, begitu peka dengan isu aktual dan melek teknologi. Kadang tidak peka dengan humor, namun sangat menyenangkan menghabiskan waktu bersamanya.
Sedangkan aku tipikal wanita yang penuh kehati-hatian. Aku cenderung me-manage resiko dan menyusun alternatif. Spontan, jenaka, penuh dengan ide2 liar. Berani bermimpi. Sense of Art yang natural, menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan dan pemikiran.
Minggu lalu saya berusia 22 tahun. Dengan baik hati, Ny.Sukab menghadiahi saya buku Alan Greenspan yang saya idam2kan. Betapa baiknya ia. Saya mentraktirnya makan malam di tempat favorite kami di parsley. Ia tampak kena flu, saya jadi kasihan melihatnya tidak bisa konsentrasi saat kami menekuri bacaan di perpus. Tapi dasar ngeyel, tetap saja dia menenggak minuman dingin, sambil berkilah bahwa penyakit jangan dimanja. Saya geleng2 kepala, entah teori darimana yang mendasari pernyataannya.
Saya sambar ia, ”Itu mah bukan dimanja, tapi sengaja dipiara...cari gara2 amat sih ente, ntar sakit parah piye...”.
Dia terkekeh2 dan mengejek, ”Gua nggak mau dikasih vitamin penguat pembuluh darah kayak punya ente. Haha, kok bisa ada obat begituan. Gua mah ogah..” Vitamin penguat pembulu darah yang diberikan dr.Bambang gara2 sempat mengalami mimisan akhir tahun kemarin memang cukup membuat izzahku luntur dihadapannya. Ia terbahak-bahak mengejekku tentang obat itu. Baginya obat itu begitu lucu untuk orang sepertiku.
”Wah..wah.. payah nih katanya militan, kok sampe harus minum vitamin penguat pembuluh darah segala...” Begitu kejam, menurutnya obat seperti itu sebuah lelucon. Jadi sekarang jika sedang terpojokkan olehku, ia akan balik membalas dengan mengejek tentang vitamin tersebut, ”Piye obat penguat pembuluh darah udah habis belum..?”, membuatku memasang tampang ”Whatever..” yang justru membuat tertawanya semakin kencang.
Kami juga suka main ”tebak2 buah manggis”. Ini karena Ny.Sukab memiliki Bapak yang sedang berkuliah S1 ditempat asalnya. Anehnya, Bapaknya yang kuliah, tapi Ny.Sukab-lah yang menjalani kesibukkan mengerjakan berbagai tugas, paper, presentasi, sampai mecari buku2 materi perkuliahannya. Aku juga jadi ketiban. Suatu hari Bapaknya minta tolong dicarikan sebuah buku dengan judul aneh; ”Koperasi di dalam Ekonomi Indonesia”. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak sebenarnya ini tuh buku jadul, ejaannya model lama. Tapi Bapaknya bersikeras bahwa itu adalah buku edisi baru. Beliau menyebutkan pula ciri2 covernya. Lebih dari 20 toko buku di jogja kami sambangi mencari buku ajaib tersebut. Sampe2 Ny.Sukab kecopetan dan saya dengan putus asa berpikir jangan2 dosennya mencetak sendiri buku itu, jadi tidak dijual dipasaran. Ternyata sodara2, buku itu kami temukan di Perpusda dengan warna halaman yang sudah menguning. Tepat dugaan kami, itu buku lama terbitan 1987, masih bahasa orde baru. Sekonyong-konyong memang ada tulisan pada covernya, ”edisi baru”. Tapi ”baru” disini dalam konteks tahun terbit. Kalau dalam konteks sekarang, tetap saja terbitan 1987, artinya ya buku purba, bukan lagi jadul. Kami merasa puas tiap kali bisa memecahkan misteri buku yang ingin dimiliki Bapaknya. Clue-nya (pengarang, tahun terbit, atau penerbit) tidak pernah jelas, makanya kami menjadikannya permainan tebak2 buah manggis. Seminggu kemudian, Bapak kembali menghubungi untuk minta dicarikan buku Ekonomi Internasional.
Namun tidak jelas, ”Pengarangnya Sobirin atau Nopirin gitu deh pokonya...”, Ny.Sukab menerangkan samar padaku.
”Enggak Nobitha ya?”, kataku gondok. Ternyata yang ngarang bernama Dr.Sobir. Hidup permainan ”tebak2 buah manggis”!!!

Begitulah Ny. Sukab dan aku. Saya harap pembaca pun senang berteman dengannya, melaui potongan kisah2 nyentrik dalam keseharian kami.

Hari ini aku sedang tidak ingin mengganggu Ny. Sukab. Ia tenggelam dalam persiapan ujian tutup teori yang konon begitu menegangkan. Biasanya kami membaca, atau setidaknya makan siang bareng di sela aktivitas masing2 yang seabrek. Tapi hari ini biarlah ia asyik dengan setumpuk kertas2 berisi daftar bacaan bahan2 ujiannya. Kalau lulus, ia pasti merayakannya bersamaku.

Saturday, January 17, 2009

Alan, Seno, Palestina, dan Aku

Saya terengah-engah membaca buku Alan Greenspan; Abad Prahara. Buku itu tebal betul. Tebal mungkin bukan masalah utamanya. Masalahnya adalah harganya yang cukup mahal membuat saya rada mikir untuk membelinya bulan ini (akhirnya saya suka menyalahkan diri, etos menabungnya kacau). Tidak mampu beli, saya memilih membacanya di perpustakaan; tempat yang selalu membuat saya betah berlama-lama didalamnya. Tapi tahu sendiri-lah, namanya juga perpus, jadi kegiatan membaca gak bisa seenak di kamar sendiri. Contohnya saat perpus sudah mendekati waktu tutup, padahal saya baru habisin kurang dari dua bab. Mau ngebut, tapi malah nda konsentrasi, ugh, sebel!. Dan inilah yang saya benci, rasa penasaran yang begitu menggoda untuk melahap habis isinya. Apa daya, it doesn’t belong to me. Jadilah sore itu pulang dengan gondok. Kalau lagi membaca, kepala saya dipenuhi berbagai hal. Seperti pentas yang di tayangkan. Seperti puzzle yang belum lengkap dan saya asyik menyusunnya. Seperti meninggalkan tempat saya berpijak dan jalan-jalan ke tempat yang jauh. Jadi bayangkan jika harus berhenti tanpa kita hendaki, gondok kan?

Ohya pembaca, saya juga sedang menikmati buku2 Seno Gumira Ajidarma (SGA). Gara-gara amanah yang diserahkan redaksi pada saya untuk mengasuh rubrik baru: Surat Kaleng. Rubrik itu kurang lebih memuat format yang sama dengan apa yang pernah dibuat SGA di kolam majalah Jakarta Jakarta; rubriknya bernama Serat dari Palmerah. Kumpulan rubrik yang pernah dimuat itu diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul yang sama. Demi mendalami gaya kritis-kocak yang diusung sebagai image Surat Kaleng, saya bela-belain berburu buku (langka) tersebut. Nemu di toko tinggal 3 biji, senang bukan kepalang. Saya berencana membuat postingan yang akan mencoba format itu kapan2. Kapan2 yah..! Eh, kapan ya, kapan2 itu?? Nah, itulah pokoknya.
Dalam Serat dari Palmerah, saya berkenalan dengan sosok SUKAB. Tampak bagi saya, dia ini hanya kambing hitam SGA untuk membuat sindiran2nya terhadap politikus terdengar lebih kocak. Dalam buku itu, Sukab sendiri nda jelas siapa. Entah pria atau wanita. Entah orang jahat atau baik. Kadang tampak kaya. Kadang tampak miskin, minta dana, jual kaos, dan sebagainya. Namun entah kenapa saya malah terhibur dengan tokoh Sukab ini. Saya bahkan hanya membaca kisah Sukab di lembar demi lembar surat SGA itu. Lalu menjadikannya lelucon bersama sahabatku.
Sahabat baikku, kadang suka saya panggil Ny. Sukab, ha3. Saking berpengaruhnya lelucon itu bagi kami. Naah.. mulai postingan berikutnya, saya akan menyelipkan kisah Ny. Sukab dalam cerita. Kenyataannya, Ny. Sukab bukanlah kambing hitam, dia memang mewarnai keseharian saya, kok. Dia sahabat yang saya rahasiakan identitasnya. Boleh, doong, Pak Seno, yah?? Itung2, buat saya latihan gaya menulis rubrik baru tersebut.

Baiklah, ini sudah Januari 2009. Akhir2 ini saya berdiskusi banyak tentang konflik internasional yang meresahkan hampir seluruh masyarakat dunia. Pembantaian Gaza oleh Israel. Saya bersyukur jika banyak yang ’melek’ dengan isu ini. Apapun alasan mereka untuk peduli; pelanggaran HAM, keadilan, penjajahan, kebrutalan, perdamaian, anak-anak, ekonomi, kesejahteraan, politik, sejarah, agama, syariat, apapun itu, dan mereka berkata, ”Hentikan perang!”, saya berdoa semoga Allah menyempurnakan amal baik mereka hingga hari akhir kelak. Tidak akan sia2, pembelaan kita terhadap warga gaza yang tertindas, Allah Maha Tahu.

Saya sedang berusaha keras, menyelesaikan segala sesuatunya. Agar roda2 tetap berputar. Agar lahan2 tetap tergarap. Agar pintu2 dakwah tetap disana. Allah Maha Tahu, dan kita manusia berikhtiar dengan jihad sebagai amalan.
Saya hanya punya satu diri. Satu kesempatan hidup. Namun berjuta pilihan, berjuta permasalahan. Sungguh menguasai dunia akan jauh lebih mudah, setelah kita mampu menguasai diri sendiri.



Pesan moral: Bacalah buku Alan Greenspan. Buku A. Riawan Amin. Ikuti dengan buku2 yang disebutkan didalamnya atau yang bertema seputar itu. Rekonstruksi teori2 ’mereka yang menyebut diri sebagai penemu’. Carilah banyak data tentang apa yang sedang terjadi. Anda akan terkejut bahwa semua tidak sedang berjalan baik2 saja. Dan nikmatilah malam2 Anda sulit terlelap. Saya hampir berusia 22 tahun. Dan tidak ada yang lebih menggelisahkan tidurku akhir2 ini, melainkan saya belum berbuat banyak.