Pages

Wednesday, April 08, 2009

Para...digma...

Mungkin paradigma, yang akhirnya dapat saya klaim sebagai penjelasan. Atas kerumitan2 pola pikir yang kadang menjebak saya, sukap, dan segelintir orang, dalam pikiran yang berbeda. Hanyalah paradigma, kata Sukap, dalam obrolan kami suatu hari. Aku hening dalam pikiran yang menjelajah. Paradigma-kah, akar perubahan yang dicita-citakan peradaban itu?

Anda tahu film Perempuan Berkalung Surban?. Ambillah contoh kalau tiga orang dengan paradigma berbeda-menonton film tersebut. Orang positivistik akan dengan puas berkesimpulan bahwa film itu cukup menarik, menceritakan bahwa betapa beruntung orang2 dengan kebebasan-berani menyatakan dirinya berbeda meskipun itu harus menentang arus. Aliran konstruksionis akan sedikit sinis, bahwa film itu tidak sepenuhnya jujur. Bahwa film itu pasti terpengaruh Hanung Bramantya, sang sutradara, yang menangkap gambaran pondok pesantren sedemikian ortodoks, walaupun kenyataannya bisa jadi tidak begitu. Sehingga bisa jadi film itu disusun dengan sengaja mengakuisisi gambaran subjektif seseorang. Dan paradigma kritis akan lebih kusut lagi mempertanyakan apa fakta yang dapat tercium dibalik pembuatan film tersebut. Mampukah detil2 gambar dan adegan dalam film tersebut membawa kita sampai pada kesimpulan utuh. Tentang pikiran Liberalisme, misalnya? Mengapa buku2 Pramoedya dijadikan detil dalam beberapa adegan?. Mengapa adegan buka kerudung, hubungan suami istri, atau adegan di hukum dalam kamar mandi ditampilkan demikian detil?. Yang jawabannya menurut saya sederhana: karena demikianlah Islam ingin digambarkan kepada penonton. Dan seperti ulasan saya sebelumnya mengenai kebebasan (baca postingan Set Me Free), gambaran Islam yang ’dibuat-buat’ ini dihadapkan pada konsep kebebasan. Padahal tidak harus dari buku2 Pramoedya Ananta Toer, kita bisa mengambil referensi yang tak kalah segar dengan ide2 serupa. Dari kalangan ulama dan pemikir muslim, ide2 keadilan antara laki2 dan perempuan bukanlah hal yang kering sebagaimana ditampilkan dalam Perempuan Berkalung Surban. Sesuatu yang akhirnya mereka namakan kesetaraan gender itu, kebebasan itu, seolah-olah jadi topik gersang dalam paradigma Islam. Padahal dalam kenyataannya, jika saja kita mau mengkaji Al-Qur’an dan risalah dakwah Rasulullah, Islam justru turun dengan ide utama keadilan dan hak asasi manusia (kebebasan) jauh sebelum pihak2 tertentu mengklaim ide tersebut.

Paradigma kritis, adalah saat anda mulai menyadari mulai dari hal2 kecil. Seperti anda menyadari mengapa desain rak2 rendah sedemikian rupa pada minimarket, dan kasirnya selalu di dekat pintu. Mengapa troli2 belanja di departemen store dirancang sedemikian besar dan lengkap dengan baby seat. Sampai pada hal2 yang lebih kompleks. Seperti mengapa pada saat beberapa koran serempak menampilkan headline isu politik, koran tertentu malah memilih headline isu agribisnis. Mengapa saat pemberitaan agresi israel terhadap palestina genar hampir di seluruh media elektronik, Metro TV malah getol dengan isu bencana lokal.

Saya mulai mengingat-ingat kapan terakhir kalinya saya percaya pada isu di media cetak dan elektronik. Saat mumy kuatir bukan main wabah flu burung melanda Indonesia tempo hari, saya lambat-lambat mulai kuatir flu burung bukan masalah sederhana. Bukan sekadar wabah penyakit yang timbul tanpa sebab. Dapatkah kita membuktikan bahwa flu burung sebenarnya adalah sebuah skenario anggun ekonomi dunia untuk menjatuhkan krisis ekonomi dimana-mana? Dan sementara masyarakat begitu panik dengan penyakit ini, resesi ekonomi mulai merembes... menjangkiti wilayah makro dan menimbulkan penyakit dengan wajah lain yang tak kalah ganasnya; krisis ekonomi asia.

Saya mengingat-ingat, bahwa memang pada situasi tertentu, fakta dibalik fakta itu memang mudah ditemui. Dan kadang menjadi jengkel mengetahui kita berada dalam sebuah skenario, adalah tanda2 kita penganut paradigma kritis itu. Bahwa tiba2 saya tidak setuju pada beberapa hal yang sebelumnya tidak saya permasalahkan.

Kenyataannya, hal2 yang terpengaruh paradigma ini memang begitu merepotkan. Misalnya, kadang saya jadi dianggap kurang rileks. Komentar2 seperti ”Ya ampun Din, santai aja kalee... cuman film doang.. Lu tegang amat.” atau ”Ah, kamu, Din. Udahlah, banyak hal yang diluar jangkauan kita". Dan betapa menyesakkan tiap kali harus berbeda dalam hal2 yang lebih penting. Dalam merumuskan tujuan bersama, misalnya. Membuat orang lain melihat sesuatu , sebagaimana kita melihat sesuatu itu, bukanlah perkara gampang.

Saya enggan terburu2 mengklaim sebuah paradigma sebagai ciri utama diri saya, atau seseorang. Yang ini, atau yang itu. Karena kadang kita jadi salah kaprah. Dan seperti seorang sahabat saya suatu hari pernah berkata, ”Ideologi itu seperti udara yang kita hirup. Kamu ga bisa milih unsur tunggal”. Dan cita2 peradaban Islam itu tentulah telah lama terwujud, seandainya paradigma itu telah lebih dulu kita bangun dalam dimensi visi.

Jadi saya memilih untuk menikmati setiap kali lintasan paradigma mengaduk-aduk isi kepalaku. Bahwa saya tidak sekedar melebih-lebihkan sesuatu atau malah mengurang-ngurangkan. Bahwa akal pikiran memang ada, dan dengan-nya-lah kita membawa diri tahap demi tahap mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Dan bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Tentu saja, kita selalu bisa berkompromi dengan itu.



Thanks to,
Teman2 redaksi yg penuh inspirasi. Dan paradigma itu kita bongkar pasang disana.

1 comment:

Anonymous said...

Gua taunya Perempuan Bersarung Sorban... ^_^