Pages

Tuesday, February 03, 2009

Set Me Free

“Kau percaya sekali pada kebebasan ya?”, tanya saya, retoris. Hani yang duduk di sebelahku, mengaduk-aduk gelas yang berisi es teh di hadapannya, tampak tenang.
“Ya. Kalau tidak, kenapa aku begitu memperjuangkannya?”, jawabnya kalem.
Hujan rintik2 di luar ruangan. Kami dalam kondisi setengah kuyup karena nekat menerobos hujan lebat dari prambanan, mampir untuk makan siang di sebuah restoran bali favoritku.
Obrolan terus mengalir, Tea menceritakan tentang beasiswa yang sedang ia tunggu hasilnya, sementara sebuah kampus di Belanda telah mengundangnya untuk tahun ajaran terdekat.
”Aku tertarik dengan hukum air. Skripsiku juga seputar itu,” ceritanya.
”Yeah, pernah dengar, siapa menguasai air, dia menguasai dunia?”, Hani menimpali. Mereka terkekeh-kekeh.
Langit masih menyisakan rintik-ritik hujan. Kami berempat membagi tempat di saung Bali yang luas, ditemani minuman teh dalam gelas yang tinggi-tinggi. Lama tak bertemu, membuat waktu seharian rasanya tidak cukup untuk berbagi kisah. Jika ada perubahan mencolok dari masing2 kita, tidak lain adalah cara pandang terhadap hidup. Ditengarai suara rintik hujan, dengan riuh rendah suara tiga sahabatku yang sedang asik berdiskusi, pikiranku melayang jauh. Mengenang kembali diri2 kami tujuh tahun yang lalu. Dengan seragam putih abu-abu, rasanya waktu itu baru kemarin. Saat kita begitu asyik dengan kehidupan ala remaja SMA. And life seemed so simple.
Dan jika ada hal yang tidak berubah sama sekali dari kita, adalah persahabatan itu sendiri.
Kita sahabat tua. Tua dan hebat.


***
Saya tidak pernah betul2 percaya pada kebebasan, bagiku itu hanya ada di awang-awang. Tidak ada manusia yang sepenuhnya bebas, selama ia manusia.
Manusia memiliki kecenderungan untuk membutuhkan ‘sesuatu’ di luar dirinya. Karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Itu pasti. Jadi selama kita manusia, kita bergantung dengan manusia lainnya. Maka dalam sudut pandang ini, manusia tidak bebas.
Manusia juga memiliki kecenderungan hasrat. Desire. Keinginan. Ini sifat dasar yang melekat pada diri. Namun tidak semua keinginan manusia dapat ia penuhi. Terutama jika keinginan itu terbentur dengan keinginan manusia lain. Dalam hal ini berarti, manusia juga tidak bebas.
Jika definisi kebebasan adalah ketika seseorang dapat melakukan apapun yang ia inginkan kapan pun dan di mana pun, saya akan dengan senang hati membeli tomat ke pasar dengan hanya membayar setengah harga. Untuk alasan yang sederhana; karena saya bebas menginginkan tomat itu. Tapi manalah mungkin hal itu saya lakukan, karena alasan sederhana pula; penjual tomat pun punya kebebasan untuk menjual tomatnya pada harga tertentu. Saya pasti akan dihajar preman pasar akibat ulah tersebut. Pak Adan Smith pasti akan tertawa tebahak-bahak melihat saya, karena ia pernah menasehati dunia dengan teori ’Tangan Tak Nampak’nya yang tersohor (yang padahal pada kenyataannya ’mengintip’ pemaparan ekonom muslim gemilang; Abu Ubayd). Dalam hukum kebebasan pasar, kekuasaan ada di tangan harga yang dibentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran. Jadi lihatlah, saya, tomat, dan si penjual tomat, bahkan tidak bebas dalam urusan ini. Ada mekanisme yang alami yang mengatur pengendalian atas kebebasan kami masing2.
Dan sebuah logika sederhana, ada ’bebas’, berarti ada ’tidak bebas’. Tapi bagaimana jika ’bebas’ itu sendiri sebenarnya adalah ’bebas yang terbatas’. Sama saja dengan ’tidak bebas’. Kepala saya puyeng dibuat oleh obrolan kami yang panjang...

”Jadi apakah makna bebas itu sebenarnya?”, saya meminta penjelasan pada hani. Hani membantuku memahami makna kebebasan sebagaimana ia pahami.
”Apa kita perlu memberi definisi terhadap ’bebas’ dulu?”, katanya, membuat kami tertawa dengan nada yang malas. Diskusi yang melelahkan.
”Aku akhirnya tidak percaya pada kebebasan, sebelum menemukan definisi secara jelas,” saya apatis.
Hani menatapku, ”Din, jadi kau hanya percaya pada hal2 yang terdefinisikan dengan jelas?”
”hmm...” saya tidak langsung menjawab, ”aku ’enggak percaya’ maksudnya, aku ’enggak akan memusingkannya’. Membiarkan, begitu tepatnya Aku memilih tema lain alih-alih ’kebebasan’ dalam hidupku.”
Kami semua tampak puas.
”Seperti aku tidak percaya pada cinta. Cinta sebelum pernikahan, tepatnya.” saya melebarkan diskusi, tema sekonyong-konyong berubah, jadi ‘cinta’.
“Dan itu artinya…” sahabat2 diskusiku kini lebih tampak seperti sahabat2 remaja bicara cinta pertama, antusias.
“Artinya cinta tidak akan menjadi pertimbanganku dalam memilih pasangan hidup,” pernyataanku barusan terdengar demikian sarkatis, bahkan bagi telingaku sendiri.
“Jadi, kau akan menikah karena apa…?”
Aku hanya tersenyum, ahh... terlalu naif untuk dijelaskan. Aku permisi mandi, teman2ku tidak mendapatkan jawaban memuaskan.

***

Demikianlah, tema2 seputar kebebasan selalu menarik untuk dibahas. Meski hingga saat mengedit kembali postingan ini-pun, saya belum paham betul maknanya. Saya ingin sekali memahaminya sebagaimana hani memahaminya. Saya selalu tertarik dengan hal-hal yang membuat seseorang meyakini sesuatu. Namun waktu terlalu singkat untuk itu semua.
Tema-tema tentang kebebasan juga selalu manarik bagiku. Terutama karena antithesis utama dari paham kebebasan adalah agama. Ketika seseorang menganut paham kebebasan, maka penjara utama baginya adalah agama. Mungkin karena agama secara eksplisit adalah benar dan salah. Dosa dan pahala. Neraka dan Surga. Sehingga wajahnya senantiasa tampak menyebalkan bagi orang-orang pengusung nilai kebebasan.
Saya teringat dengan petikkan ayat Al-Qur’an:
Laa ikrahaa fiddin... (QS Al-Baqarah : 256)
Tidak ada paksaan dalam beragama... Jadi, jika doktrin kebebasan menunjuk agama sebagai ’penjara’, setidaknya agama tidak pernah menunjuk penganutnya sebagai ’terpidana’.
”Mengapa pula aku ingin bebas? ” tanyaku. “Beginipun aku bahagia, tidak pernah merasa terkungkung dengan syariat yang kuyakini.”
”Mengapa kita harus memperdebatkan sesuatu yang kita tahu dalam hati, kita menginginkannya. Kita semua ingin bebas, kan? Siapa yang tidak mau bebas?” jawaban menyambut saya.

Saya terdiam lama. Tiga hari yang menyenangkan bersama Dita, Tea’, dan Hani (Nyek), sahabat2 tua-ku ini, tidak ingin kuisi dengan hal2 lain lagi. Selain mengetahui bahwa kami baik2 saja. Kami masih waras, masih menegakkan shalat lima waktu. Dan kami masih sahabat, saya berdoa semoga kita akan baik2 saja dengan itu semua, bukan begitu kawan-kawan ?.

Akhirnya hati-lah yang menguasai diri saya, ”Dari semua hal yang harus saya temukan dalam hidup ini, hanyalah sebuah hakekat tentang kebenaran Tuhan. Setelahnya, tinggal mengikuti aturan Tuhan saja. Tak perlu lagi mencari kebenaran neraka dan surga, kebebasan dan kekuasaan... Aku yakin semua akan berjalan baik2 saja. Karena ada Tuhan. Dan Tuhan, bukan kebebasan.”
Hani berkata, ”Kau masih Dinda yang dulu.”
Aku pun berkata, ”Jauh di dalam sana, kau tetap Hani yang kukenal dulu.”




Ini untuk Hani yang mengaku humanis, setelah sempat radikal dengan feminisme
Untuk Dita yang sibuk dengan indeks saham gabungan, 8 to 5 setiap hari,
dan untuk Tea’ yang mengaku feminis, dan menolak segala hal di luar ‘intelegensia’
Kalian memang inspirasi!

3 comments:

market value from ASP & Rekan said...

I like your posting….Wishing you a very Happy day Saturday and give smile
http://baganbatublog.blogspot.com/
http://publicvaluer.blogspot.com/

Hani Smaragdina said...

aku belum pernah merasa tuh Din agama memasung kebebasan...karena buatku Islam bukan agama yang begitu to. Lebih dari itu aku menganggap Islam adalah filosofi hidup, bukan sekadar tuntunan,kewajiban, dsb itu.

dan Din, kenapa harus kita memikirkan apa yang dari jaman dulu terlalu susah didefinisikan...ialah seperti Tuhan melalui Dzat dan sifat, cinta, atau kata bebas dan kebebasan. Kenapa ? karena menurutku ia adalah kata kerja yang hanya akan betul dimaknai sifatnya bila telah dilakukan.Sama halnya bila kau bertanya arti luka, khianat, dendam, dsb...ia hanya bisa dirasa.

Baik kita berdamai pada hal2 demikian. Wallahualam. ahahaha.

Dinda Jayanti said...

yeah..
Aku setuju.
Mungkin kebebasan adalah pikiran manusia itu sendiri. Itu sebabnya tidak terdefinisikan. Terdefinisikan-pun, tetap saja tidak berterima umum.

Kalau tentang kau dan Islam, tentu aku tahu kawan...
Kalau tidak, kau tak akan menyebut dirimu, 'Solihah".
Dan aku bersedia berdamai untuk itu semua.

Beyond those all, we just fine...
(Hey, thanks for ur last posting which tells bout me, man behind camera. U make me laugh so bad)