Pages

Friday, February 06, 2009

Surat Kaleng

Menjumpaimu, Bung, di belahan bumi yang jauh...


Assalamu'alaikum, apa kabar Bung?. Saya mungkin saja tahu jawaban Bung kalau ditanya tentang kabar. Dan rentetan cerita mengasyikkan tentang waktu yang terlampaui, tentang hidup. Saya menyukai cerita-cerita Anda, Bung. Dan semuanya cukup untuk membuat saya teringat-ingat sambil senyum-senyum sendiri.

Ahh.. Bung, pagi ini saya terbangun dari tidur dan menyalakan televisi. Berharap mendengar kabar yang baik seputar isu-isu negri kita ini. Tapi kabar baik sungguh jarang terdengar jika sudah bicara kesejahteraan bangsa. Saya ngenes...
Tapi sudahlah Bung, saya sekali ini menulis untuk Anda, jangan jadikan surat ini seperti teror. Kita kan kawan lama, pernah susah bareng, senang bareng. Anggaplah ini sebagai silaturahim saya, kawan lama yang begitu bangga pernah dekat dengan Bung jaman kita studi dulu. Itung-itung, saya tidak hadir (tidak diundang) waktu syukuran kelulusan Bung.

Bung (eh, saya merasa segan memanggil Anda dengan sapaan akrab kita dulu)- sekarang saya dengar sudah menjabat orang penting di kampung Anda ya? Wahwah selamat ya... Tidak nyangka deh, Anda kan dulu paling anti dengan birokrat dan menganggap hampir semua mereka 'orang nakal'. Saya lega sekali, dengan semua prasangka Bung kala itu, saya yakin Bung tidak ingin jadi salah satu diantara mereka yang dikatakan 'orang nakal' bukan?.

Jadi, bagaimana kemajuan yang sudah anda buat disana Bung? kalau saya terakhir kali pulang kampung di buat stres karena Ayah saya mengeluh terus soal pengiriman balok timah keluar perusahaan yang sering tersendat. Tau sendiri lah Bung, berapa kerugiannya kalau sehari saja terlambat diangkut. Yang bikin stres Bung, ulah birokrat yang 'nakal' tadi itu loh... Saya tidak tahu betul bahwa mereka ikut andil dalam prosedur pengiriman yang terkendala, sampai saya dengar sendiri Ayah saya misuh-misuh dimintai duit segala Bung, apa nggak keterlaluan ya Bung!
Padahal waktu itu mbah putri saya baru meninggal dunia, dan kami sekeluarga masih berkabung, berkumpul di kediamannya. Tiba-tiba Ayah saya sudah sibuk dengan handphone, wara-wiri, rupanya disuruh antar duit dengan cepat. Saya yang bingung, akhirnya dikasih tahu, kata Ayahku, Pak Kapolda ngajak 'diskusi', biar pengiriman timah lancar. Harus siapin duit pula, katanya, yang bikin saya makin bingung. Rupanya 'diskusi' yang dimaksud itu... yah... Bung bisa tebak sendiri-lah.

Gimana-lah Bung, saya kaget bukan kepalang. Berani-beraninya ada orang melakukan tindak pemalakkan begini didepan mataku, dan tanpa risih sedikitpun, menembak Ayahku sekian juta untuk meloloskan pengiriman. Padahal prosedur legal yang dilakukan perusahaan, bukan ilegal. Jadi apa yang harus dipersulit, Bung?. Dan sungguh menggelikan bagaimana semua itu diselesaikan, yaitu dengan uang. Saya begitu shock, megulang-ulang pertanyaan pada Ayahku, "Dia minta terang-terangan, Yah? Minta sekian, gitu?".
"Iya, minta lima belas juta gitu" kata Ayahku.
Rasanya tertohok, Bung! Kemana urat malunya, alangkah edan di bulan Ramadhan melakukan tindakan malak begitu. Bung, di terminal-terminal pasar saja, preman-preman jalanan berhenti dari kegiatan malak, karena bulan Ramadhan. Mereka ganti profesi sementara jadi yang lebih manusiawi, seperti jual asinan, gorengan, atau paling banter duduk-duduk deket Istiqlal, ntar ada yang kasih infaq. Lha, orang ini malah terang2an memeras Ayahku. Bung... Bung... itukah sebabnya, Bung dulu begitu benci dengan mereka ini? Lantas sekarang masih benci atau tidak Bung? Adakah alasan yang dapat diterima terhadap tindak pemalakkan, atas sebuah prosedur pengiriman barang yang legal oleh sebuah perusahaan?. Saya jadi berpikir, pastilah jumlah THR untuk golongan si-pemalak ini dirasa kurang banyak baginya.

Bung, kalau ada teman-teman Anda yang seperti itu, tolonglah nasehati mereka perlahan-lahan. Saya kasihan dengan Ayah saya, Bung. Dulu Bung juga dekat dengan Ayah saya bukan? tanda-tanda cari perhatian, hehe...
Lebih kasihan lagi dengan teman-teman Bung itu, rejeki yang diambil dari perbuatan itu kan ndak halal. Eh, bener gak, Bung? Atau menurut Bung malah halal-halal saja? Ha3, saya kan sudah lama nggak diskusi nih Bung, siapa tahu saja sekarang pandangan Anda sudah berubah... Tapi, kalo saya bilang, itu nggak halal Bung.

Bung, karena kejadian tersebut, saya mati-matian cari sumber-sumber syariat. Saya tahu betul bahwa perbuatan suap dilarang Allah SWT. Saya menjelaskan pada Ayah saya(melaui diskusi yang alot) agar berhati-hati, jangan samapai tergelincir. Dan beliau bisa menerima itu, Alhamdulillah. Saya tidak tahu persis bagaimana akhirnya masalah tersebut ia selesaikan. Itu, Bung. Kalau kita sayang keluarga, kita lindungi mereka dari hal-hal keji. Dari api neraka, na'udzubillah...
Nah, bagaimana dengan Bung sendiri, sayang tidak dengan keluarga Bung? Dengan kerabat sesama pejabat dan birokrat? Dengan penduduk negri ini Bung? Sampai kapan kita menjerat masyarakat dengan prilaku yang dilarang Allah, dengan sistem suap menyuap yang membawa kita pada dosa? Siapa yang harus kita rubah, Bung? sistem ataukah orangnya? Katakan pada saya sebagaimana dulu Bung bercerita, dengan mata berbinar, tentang sebuah cita-cita besar untuk negri kita.

Bung, saya harap semua cerita itu kini bukan sekedar cerita lagi. Tapi perbuatan nyata. Semoga surat ini tidak memojokkan, seperti yang saya katakan di awal, melainkan menggugah Anda, paling tidak, jadi tahu apa perbuatan relasi Anda terhadap salah seorang warga sipil. Semoga memoar masa lalu senantiasa menjadi penyambung, untuk kebaikkan di masa datang.
Anda bebas menafsirkan makna Bung, bahkan jika Anda menganggap saya menaruh perhatian pada Anda.Sebagaimana orang mukmin harus saling menyayangi, nasehat-menasehati, dalam kebenaran dan kesabaran. Perasaan semacam itu normal, wajar, tidak ada yang aneh. Dan tak pernah pupus.

Tak usah dibalas Bung, pasti tak sempat. Jangan sibukkan diri Anda dengan membalas surat, berbuat sajalah.
Wassalamu'alaikum.

No comments: