Pages

Saturday, December 06, 2008

Memo Macan

Kereta merambat pelan. Gerbong sunyi, orang2 mulai mengantuk. Kurang lebih pukul 23.10 WIB. Membuka "colonel yakiniku" yang sempet2nya saya beli sebelum berangkat, rasa lapar sebenarnya tidak terlalu. Tapi memaksa diri saja-lah. Mata terasa berat, kupercepat aktifitas makan malam sambil mengingat hal2 yang harus dilakukan setiba di Jakarta, besok pagi. Seseorang disebelahku telah tidur. Buku-buku yang sengaja kubawa sebagai 'teman' tertumpuk di sisi jendela gerbong. Demi menyelesaikan beberapa lembar halaman, kutahan-tahan saja rasa kantuk. Masih meladeni sms beberapa teman, tiba2 seseorang memanggilku, "Din, boleh liat buku-bukunya?".
Saya mengoper empat buku sekaligus ke bangku belakang tanpa berucap apa-apa. Marcel menangkap tangkas. Wisnu duduk disebelahnya, terdengar asyik dengan suara-suara (entah dari TV-HP yang mereka bawa atau mungkin DVD player)yang tampaknya adegan film. Di luar dugaan malam ini ketemu mereka, ternyata marcel 'boyongan' (pindahan) ke kota asalnya, Jakarta. sedangkan wisnu dalam misi jalan-jalan. Mereka berdua temen saya jaman kuliah masih padet2nya.
Iseng, saya bertanya pada mereka, "Apa nih rencana berikutnya setelah pada lulus?".

Wisnu : "Saya mah cari kerja mbak (panggilan akrab wisnu untuk saya), ntar tiga bulan nda dapat, saya lanjut profesi.."

Marcel : "Kalo gua din, kerja, trus nikah!" (yang segera kutimpali dengan "Standar amat cita2 mu..". Marcel terbahak-bahak, mangkel.

Aku sendirian saja malam ini dalam perjalanan menuju Jakarta dan paginya melanjutkan perjalanan udara ke tempat dimana kangen berlabuh; Bangka.
Setelah habis topik kami tentang planning masa depan yang tidak jelas juntrungnya, saya kembali berkonsentrasi pada bacaan. Tidak lama, mengambil posisi paling nyaman, tidur.

***

"Pada dasarnya prosedur normal tetap dijalankan...Tapi, hahaha... kan banyak 'titipan' masuk, kalo megang 'memo macan' mantep-lah...".
"titipan? memo macan?", saya minta penjelasan tambahan.
"Yaahahaha... memo..eh..titah dari 'orang berpengaruh' katakan gitu...", Pria yang sedari tadi malam menempati seat di sebelahku berujar akrab. Ia bekerja di BPK dan ingin pulang ke Jakarta dari perjalanan tugas ke Malang. Itu jawabannya saat kami ngobrol tentang nasib yang membayangi tenaga kerja fresh graduate di negri ini. Tidak banyak yang survive pada awalnya, biasanya lantang-luntung jadi kontraktor dengan kinerja setara karyawan, kompensasi minim. Berapa banyak kini, bahkan perusahan besar sekalipun mempekerjakan orang dengan sistem kontrak, perbulan lagi!. Saya teringat dengan nasib beberapa teman. Mata pria itu menerawang seiring cerita-cerita yang mengalir, memecah bekunya suasana dalam gerbong kereta pagi itu.
"Untuk jadi seperti Bapak seperti sekarang, pasti skill akuntansi-nya harus qualified ya Pak?", awal pembicaraan saya, penuh basa-basi.
"Ohh.. tidak juga. Saya background-nya malah bukan akuntan. Tapi, yah... karena udah lama di BPK, skill udah setara kalian yang lulusan S1 akuntan gitu." Saya tertawa,pastinya sudah lebih dari saya, bukan lagi setara. Pengalaman kerja bertahun-0tahun, mana ada di bangku kuliah...
"Kalo saat ini banyak akuntannya atau auditor di BPK, Pak?"
"Mmm... akuntan saya rasa."
Ah...dunia kerja hari ini, pikirku. Persaingan dalam dunia kerja sepuluh tahun yang lalu sudah tidak sama dengan hari ini. Kalo jaman dulu orang-orang yang sudah mengantongi gelar insinyur rasanya cukup untuk melenggang masuk dunia kerja. Hari ini, sekedar ijazah S1 terbukti tidak cukup memuaskan. Tapi mau melanjutkan, juga bukan jaminan untuk lolos persaingan. Saya diam, bingung memaknai. Terlihat dari punggung teman bicaraku ini, Marcel dan Wisnu yang tampak membereskan barang-barang mereka, bersiap-siap untuk turun. Wajah-wajah lulusan S1, yang semalam begitu lancar mengutarakan planning hidup mereka kedepan.
Ah...dunia kerja. Bagaimana individu2 saat ini tidak semakin terseret dalam pemikiran oportunistik? Tersita umur mikirin dirinya sendiri. Siapa yang mau mikirin ummat?? Saya merasa naif, tapi tak terelakkan harapan dalam hati saya terlintas jua, agar mereka, teman-temanku itu juga telah mempersiapkan planning untuk karir paling pahit sekalipun yang akan mereka hadapi kelak. Dan bukannya 'memo macan'.
Bapak itu masih bercerita, tentang putra putrinya. Aku mendengarkan, kisah hidup selalu menarik untukku. Kalau hidup tiap manusia itu adalah seutas tali, kita tidak tahu akan dipertemukan pada simpul yang mana. Aku tidak sedang mencampuri hidup orang lain, bukan. But i'm living my own beautiful life. Hanya saja saat ini sedang menemukan simpulnya pada si Bapak (yang lupa kutanyakan namanya hingga berpisah di Gambir!).
Kereta semakin merambat, hingga berhenti sepenuhnya. Sekitar pukul 08.00 WIB, suasana menghangat diluar gerbong. Aku mengucapkan salam padanya sebelum menghilang di balik kerumunan orang-orang.


6 Desember 08, another trip another story.

Wednesday, November 26, 2008

A Walk of Reflection

Pagi sendu itu, kupakai sepatuku. Kunaikkan kancing resleting jaket hingga menyentuh daguku. Entah jam berapa pagi itu, aku tidak ingin membawa apa-apa. Sengaja saya meninggalkan HP dalam keadaan menyala, dompet juga tidak usah dibawa. Kukantongi saja sebuah mushaf Al-qur'an yang telah bermanja-manja dengan kedua mata ini sejak saya duduk si bangku SMA.
Saya memerlukan ini, saat kepala saya rasanya sudah penuh dengan permasalahan, atau rutinitas hidup sedang membawa saya pada kejenuhan. Saat beban pikiran menuntut konsentrasi penuh, dan saat mulai sulit mencari kembali makna kebahagiaan dalam perjuangan ini. A walk early in the morning, finding the lost me...

Pagi sendu itu, matahari bahkan masih malu-malu menunjukkan semburatnya. Saya mengambil arah menjauhi keramaian kota. Berjalan kaki, menyibak misteri bagaimana Tuhan meramaikan bumi. Apakah alam ini selalu terjaga, saya bertanya-tanya. Saya tersenyum getir, saat melewati barisan ilalang, Mereka terangguk-angguk dipermainkan bulir embun yang berebut menetes dari ujung daunnya. Tidak lelah dan tidak tidur, saya yakin, makhluk Allah yang satu ini, mengisi siang dan malamnya dengan lantunan dzikir pada Rabb Sang Pencipta. Saya membatin, apakah kau juga sedang cemas, hai ilalang. Bumi ini semakin tua, manusia semakin lupa. Sementara engkau menyaksikan.
Dari kejauhan saya menyaksikan rombongan pedagang. Mereka pasti mau ke pasar terdekat. Membopong pisang, karung-karung berisi bawang merah, Umbi-umbian, dan lain-lainnya. Mereka melintas. Saya memandang salah satu dari mereka yang sedang sibuk bicara, bersenda gurau. Karung-karung yang mereka bawa itu... Ah...cukupkah itu ditukar dengan biaya hidup yang kini kian melambung. Wajah-wajah penuh canda itu...tak dapat menutupi raut kesulitan yang membelenggu hidup mereka, ekspresi beban hidup yang mereka pikul sampai entah kapan. Saya membayangkan dirumahnya terdapat enam sampai tujuh orang anak melepas kepergiannya pagi ini menjemput rizki. Saya menoleh lagi, menengok mereka. Sebuah Spanduk dipasang tinggi bergambar wajah seorang tokoh politik yang sedang mencoba peruntungannya melatar belakangi pemandangan saya kini. Pemandangan yang kontras. Orang besar dengan orang kecil dalam sketsa jalanan sepi pagi ini. Mereka, para pedagang itu, mungkin tidak pernah tahu kesulitan yang membayang dunia saat ini ditengah krisis global. Mereka bagai urutan terkecil dari sebuah rantai makanan; sasaran utama dimangsa. Cukuplah beban hidup,mereka tidak pernah menuntut banyak. Selain harga kebutuhan hidup yang murah, biaya pendidikan dan kesehatan yang dapat dijangkau orang-orang kerdil. Tidak lebih dari jaminan atas hidup yang keras ini. Sedangkan para politikus bak predator yang jadi rantai terakhir dimana semua semua spesies berakhir di perutnya; kenyang. Tiba-tiba saya tersadar bahwa dakwah ini bukan pekerjaan sederhana. Saya teringat dengan Abu Bakar ra dan Umar ra. Yang mungkin menangis jika berjumpa ummatnya dalam keadaaan demikian menderita. Begitu jauh kondisi ummat Islam saat ini, dimana saya hanya dapat memandang kawanan orang-orang kecil itu lewat, kelu, tanpa dapat berbuat lebih.
Saya memohon ampun pada Allah, berjanji bahwa pekerjaan yang panjang ini tidak akan pernah saya tinggalkan karena alasan apapun.
Saya sampai di padang rumput yang cukup luas. Disisinya terdapat bukit kecil dengan bebatuan yang berundak-undak. Berlatar pemandangan yang tiba-tiba menggetarkan jiwa saya sangat hebat; Merapi. Suasana pagi itu menciptakan siluet yang sangat indah di utara tanah Jogja. Gunung merapi, dengan asap tipis panjang horizontal dipuncaknya, angkuh dan memesona. Saya berdiri diatas undakan bebatuan, mencoba sejajar dengan sosok Merapi. Saya maknai dalam-dalam tatap muka saya pagi ini dengannya. Jiwa saya bergetar hebat saat dalam hati bergumam menyapanya dengan salam. Gunung-gununglah yang terlebih dahulu ditawarkan Allah untuk menjadi khalifah dimuka bumi sebelum manusia. Dan ia menolaknya. Ia merasa tidak sanggup dan takut mengecewakan Allah SWT. Jatuhlah amanah itu kepada manusia dengan segala keistimewaannya. Manusia yang kauh lebih kerdil secara jasadiyah dibandingkan dengan sebuah gunung. Manusia dengan segala kecenderungannya untuk lalai, lemah, dan mengeluh.
Jadi kita sampai disini, batinku. Al-Qur'an menyimpan perkataan Allah SWT bahwa gunung-gunung yang kita kira diam pada tempatnya sebenarnya bergerak. Mereka berpindah tempat dan berjalan dimuka bumi yang dalam ilmu geografis mungkin dapat kita terjemahkan menjadi penyebab gempa, cekungan, patahan, dan sebagainya. Merapi dan gunung-gunung lain yang tersebar di penjuru bumi adalah saksi sebuah pertaruhan gengsi masa lalu. Sebuah gengsi berbingkai takwa pada Allah SWT. Kini kita hidup berdampingn dengan mereka. Berbuat semaunya tanpa menyadari bahwa mereka mengawasi.
Saya tertegun mendapati diriku pagi ini begitu malu terhadap makhluk Allah yang raksasa ini. Begitu kecil daya dan ketahanan saya sebagai seorang hamba. Padahal sejarah telah memenangkan kita di antara seleksi menjadi khalifah.
Sadarlah saya bahwa hidup telah punya prolog. Telah tertulis disana segalanya.
Saya melangkah pulang. ruang-ruang kosong itu kini terisi kembali. Saya tersenyum, mengharap gunung itu, ilalang tadi, dan mungkin para malaikat yang bertemu sepanjang jalan mendoakan saya. Agar kuat kaki saya menancap pada dakwah.
Pulangnya saya menganbil jalan pintas, saya ingin cepat sampai.


Sebuah analogi, terkadang aku menoleh. Tapi aku tahu bukan saatnya untuk berhanti.

Sunday, November 02, 2008

The Kids Around

Ammah...
"ikan paus bahasa inggrisnya apa?"
"kalo pelangi apa?"
"trus kalo cicak, mah...?"
Ammah dinda...
"pampers wildan minta diganti..."
"buatin susu coklat dong, mah..."
"mau nonton power rangers, pokoknya power rangers!!"
Ammah dinda...
"Buatin gambar bunga"
"pakein baju yang ini"
"aku mau itu!! mau yang itu, mah..."
Ammah...
"ikut naek motor"
"gendong, ammah! gendooongg...."
Ammah....
"kenapa ini engga boleh dibuka??"
"leher ammah mana sih?? kok engga keliatan..."
"rambut ammah mana, liat!! lihat, ammah!!"
Ammah dinda...
"jogja itu dimana?"
"Nanti ammah ke sini lagi kan, mah?"
yah, mah!!!


Teringat dengan ocehan kalian.
Cendol-cendol (kids) nun jauh di sana. Ammah love you guys...
Kak Vio dan e-an (raihan)
Kak nisa dan danti
Syifa dan shira
A-al (si anhal) dan ating (fathir)
Bang ari dan menya (sharfina)
Ivald dan icha (aisha)
Ilga, sahsa, dan dede barunya
Dhea dan farhan
Daffa yang pemalu
Dede Valdo...
dan kesayangan ammah dinda dan tante wita,sang raja iler, si kembar fauzan dan wildan

Tiba-tiba ammah kangen...
Siapa mau main ke pantai...?. Dan cendol-cendol itu biasanya langsung bersorak, "Akuuu...ikut, mah.. Ikut, mah!!". Riuh!

Tuesday, September 16, 2008

Some Old Frenz

Bismillah...
Hi pembaca yang lama dicuekin, maafkanlah saya sebagai pengelola account yang tidak konsisten ini. Alhasil blog ini begitu lama vakum, oh am I gonna be a good writer??. Sempet kepikiran sebenernya untuk destroy account saya ini, tapi ga nemu caranya. Akhirnya saya pikir cuekin sajalah.. Untill then something changed ma mind. I wont tell u guys, hahaha.
Anyway, apa yah topik untuk postingan kali ini...
Ndak ada, kawan... lagi miskin ide nih.
But, karena ini lagi suasana mudik (Lebaran Idul Fitri), saya crita saja ahh..
Tadi pagi-pagi sekali seseorang menghubungi HP saya.
"Halow, assalamu'alaikum..."
"Ndiinn.. Wa'alaikumsalam, huehue.. uda sahur belumm?" ahh.. Ntep, kawan abadi. Datang dari masa lalu. Cuma dia yang manggil saya "Ndin" sebagaimana saya menanggilnya "Ntep" padahal nama aslinya "Tea".
"Wei, ntep pa kabar" saya basa-basi
"Baik... alhamdulillah... bla...bla..." obrolan pun mengalir mulai dari skripsi, pulang kampung, rencana reunian, dan sebagainya. Ntep ternyata sudah di Bangka, soalnya tinggal skripsi doang, nda perlu tergantung jadwal kampus, katanya. Ujung-ujungnya,
"Kapan merried ndin??"
"Ya deket-deket ini dah" saya menjawab asal-asal
"Ha?? serius?? uda ada calon nih.."
"Ya nyari-nyari siapa dah kalo nemu dijalan ada yang mau" saya makin asal aja
"Ah, dasar! Tak jodohin sama **** mau gak?" Selorohnya sambil menyebut branded nama seorang kawan kami juga yang selalu ditawarkannya padaku dan memang inilah ntep. Kalau pembicaraan antara saya dan dia gak berakhir dengan tawarannya atas ****, niscaya bukan ntep namanya. Memang sudah begitu, seingat saya sudah sejak masuk kuliah, dia getol jodohin saya dengan orang tersebut. Lain lagi waktu SMA, dia getol menjodohkan saya dengan pria lain. Sungguh gigih nian kawanku satu ini!.
Oke, cukup tentang pagi syahdu-ku yang diaduk-aduk ntep dengan topik perjodohan.
Menjelang dhuha, sebuah SMS masuk. Isinya imbauan doa untuk perjuangan muslim di daerah timur Indonesia. Dari Dosh. Ahh... another old friend. Dosh (nama aslinya endah) mungkin adalah teman sekolah tertua saya. Terhitung tiga belas tahun lamanya, sejak saya TK hingga SMA selalu satu kelas dengannya. Bukan lagi satu sekolah, melainkan satu kelas. Imagine how close we're each other. Akhirnya sekarang saat harus terpisah, nggak nanggung-nanggung deh jauhnya. Saya di UII Jogjakarta, beliau di Unand Padang. Ketemunya cuma pas lebaran aja.
Selepas dzuhur, seseorang menghubungi saya lagi. Kali ini Dita.
"Doth, dita balikin motor tadi ke kosan mu. Tapi doth lagi nggak di kos. Afwan..." Motorku emang sudah lima bulan terakhir diadopsi dita ke parang tritis semenjak saya kecelakaan lalu lintas Mei kemaren, agak takut juga bawa motor. Dita... selain kakak, cuma dia yang biasa manggil saya "Doth". Kawan sekamar waktu SMA yang banyak mengajarkan saya hidup "klimis". Dua jempol untuk cita rasa kebersihan dan keteraturan dita yang membekas sampe sekarang pada diri saya, walaupun masih jauh rapihan dia dah. Perfect.
Inilah beberapa nama yang tak akan lekang dalam sejarah hidup seorang dinda. Ntep, Dosh, Dita adalah keping-keping penyusun bahagia yang pernah saya rasakan dalam satu waktu. Masih ada Batari, Hani, kakaku Buna. Waktu-waktu itu rasanya habis, kita isi dengan sebuah pencarian dan pembuktian. Tak akan cukup satu postingan ini untuk cerita tentang dunia kita saat itu. Ntep yang organisatoris. Dosh yang prestatif, Dita yang aktif dengan rekor eskul terbanyak dan kawan terbanyak yang ia miliki, Buna yang populer, Batari yang rame, Hani sang maestro yang selalu bawa suasana freh ditengah ritmik hidup kita yang datar ini. Dan aku, sang anak band yang lagi jatuh cinta sama 'Rabb'nya.
Hari ini Ntep telah membuktikan siap dia, berbagai kejuaraan debat telah ia jelajahi dari Jawa, Bali, bahkan mau ke negri jiran. Dosh baru saja lulus S1. Dita telah mendapat pekerjaan di sebuah bank, paling memuaskan di antara kami. Hani telah sampai ke Paris dan Belanda dengan misi yang tidak main-main, delegator MOU Indonesia-Denmark atas urusan institusi pendidikan di Bandung. Blog-nya kian rame dikunjungi, saya bahkan jadi pembaca setianya. Buna yang akan segera menikah-telah bertualang dengan pekerjaannya yang mapan. Dan ia memutuskan berhenti untuk sebuah tantangan lain. Batari yang terakhir kujumpai telah bermata ungu, tak berubah ramenya.
Saya, malam ini begitu mello dengan kenangan akan ocehan kami dimasa lalu. Teringat dengan ikrar kita untuk selalu jadi sahabat, bahagia, dan sukses, ingat??
Betapa saya kangen ketemu kalian lebaran besok.

Tuesday, June 03, 2008

Cruels but not me

Bismillah...


Things were going so cruels...
No,no,no,no,no,no....
Not really actually...

Tidak pernah ada satu kejadian kecil pun
menimpa diri kita tanpa perencanaan yang MAhacermat dari Allah
Right??
Exactly...

Pinter-pinterlah mengambil hikmah, Diiinn...

>>>> Poster by dindin, lage bingong. Ujian.SP.Skripsi.Pendadaran.Pulang.Ke Dokter.Pulang kempung.Kerjaan.Amanah-amanah lain.<<<<<


Like my friend says, "kerjaan tu jangan di sebutin satu-satu, Din... Tapi langsung aja mulai dikerjain..
Kayaknya dia bener.

What a Day!

Tuesday, May 06, 2008

Sssttt....

Bismillah…

Pukul 23:04 saat saya-masih dengan style kuliah-mengusir rasa penat dengan membuat postingan kali ini. Saya-yang dua minggu terakhir ini merasa benar-benar diperas dengan target-target akademik, belum lagi agenda dakwah yang seolah tak ada habisnya-merasa sangat menikmati waktu-waktu malam seperti sekarang. Sekuel-sekuel hidup dimana tak ada kegaduhan. Saat kawan-kawan saya mulai menutup pintu, mengecilkan suara MP3 atau TV, menarik selimut dan beranjak tidur. Tanpa alasan yang khusus, saya memang jarang ‘on’ sampai larut malam. Setidaknya jam 21.30 pasti sudah ‘tewas’ dalam kamar. Tapi terlalu banyak tugas yang membuat saya ‘tak tega’ tidur cepat malam ini.
Pukul 23.15, dengan isi di kepala saya seputar jurnal penelitian ‘Tinjauan Pustaka’ yang belum rampung, PR untuk presentasi di Liqa’ besok sore, pagi jam 6.30 sudah harus ikut rapat dan menyiapkan berbagai pertanyaan seputar draft yang harus saya pelajari malam ini, jam 7.30 sudah harus di zahwa (asrama akhwat atas) untuk membuat coklat dalam rangka aksi tebar 1000 coklat memperingati hari kartini, jam 9.30 sudah di kampus terpadu untuk koordinasi dengan PJ kaderisasi salah satu fakultas. Jam 13.00 sudah harus mengumpulkan tugas dan kuliah di kampus bawah. Dan sorenya duduk manis di hadapan murabbiyah untuk liqa’. Ahhh… Liqa’… selalu menjadi stasiun pemberhentian yang menyenangkan dalam perjalanan hidup saya. Sejenak, saya bisa beristirahat, membeli air minum ‘taushiyah’, makan siang ‘ruhiyah’, beli majalah ‘ukhuwah’, atau sekedar melihat hiburan ‘rihlah’ ala stasiun liqa’ yang selalu saya sukai. Dan ketika perjalanan kembali harus dilanjutkan, saya merasa alive! Malamnya saya harus kuliah selama dua jam plus take home-examination.
Betapa saya menikmati hari-hari sibuk seperti ini. Hari-hari yang akan saya rindukan saat usia mulai menua, dan energi saya telah kikis termakan usia. Hari-hari yang (insya Allah) akan menjadi bahan obrolan saya dan kawan-kawan saat berkumpul di taman syurga. Nikmatnya!
Pukul 23.30 dengan begitu banyak tugas yang harus saya cicil. Saya membayangkan betapa indahnya kesabaran dan kelapangan hati yang Allah karuniakan hanya pada segelintir hamba saja. Pada detik ini-di bumi yang sama, dengan tanah berpijak yang sama, beratap langit yang sama, entah di belahan bumi yang mana-berjuta orang sedang mendapat ujian hidup yang jauh lebih berat dari diri saya. Ada yang sedang meringkuk menahan lapar dan dingin, ia berpikir keras bagaimana melanjutkan hidup esok hari, namun tubuhnya tidak sebugar saya untuk siap begadang sampai subuh, perutnya tidak sekenyang saya untuk mampu berkonsentrasi hingga optimal. Ada yang sedang menangis, menahan perih karena negerinya terjajah, keluarganya dibunuh dengan keji, martabat bangsanya diinjak-injak, dan kebebasan hak asasinya direnggut dengan paksa. Tapi imannya tidak serapuh diri saya, untuk terus menegakkan qiyamul lail, ia memanjatkan do’a pada Yang Mahanendengar dan mengabulakan do’a orang teraniaya. Berapa banyak, kawan. Berapa banyak yang kelaparan, yang tergusur, yang terjebak kemiskinan, yang tak pernah punya kepastian bahkan atas apa lauk esok hari. Berapa banyak yang menderita karena ujian hidup yang tidak main-main; peperangan, penjajahan, dan penindasan… Pantaskah saya mengaku muslin jika masih mengeluhkan ‘penderitaan kecil’ atas amanah-amanah dakwah dan lainnya yang menyita hari-hari dalam hidup saya.
Teringat terus wajah-wajah mereka diluar sana. Wajah-wajah ikhwah yang dirundung cobaan. Yang mengayuh sepeda puluhan kilometer demi membina mutarobbi. Tringat dengan nama-nama para ikhwah yang memperjuangkan keadilan sebagai anggota dewan. Teringat terus dengan penduduk negeri ini. Anak-anak, orang tua, tanpa alas kaki dan baju hangat. Lidah saya kelu sebelum sempat berkata, “ Adooohhh… capeeekkk…”.

White Guilty, Not Again...

Bismillah…
What a day! Saat saya menulis postingan ini di computer pribadi, saya sedang merasa begitu jemu dengan hal yang menimpa saya malam ini. Awalnya karena malam ini saya (merasa) senggang, jadi menyempatkan diri main ke warnet untuk mem-posting tulisan saya yang terakhir. Sebenarnya saya menghindari main ke warnet dalam empat kondisi:
Pertama, malam hari
Kedua, kalau uang lagi pas-pasan
Ketiga, kalau ‘sekedar’ mengisi waktu senggang
Keempat, kalau dapet yang smoking area

Untuk kondisi yang pertama, kedua, dan ketiga , pada dasarnya karena alasan klasik; kalau sudah on-line, saya bawaannya aji mumpung. Semua yang pengin dilihat, diselesaikan, atau sekedar penasaran akan sesuatau hal, saya rapel jadi satu. Akibatnya on-line bisa lebih dari satu jam. Sangat tidak cocok bagi saya yang sedang berusaha menjaga hijab dengan menaati jam malam akhwat. Juga tidak cocok bagi ongkos yang kadang ngepas banget. Tidak pula cocok untuk kondisi ketiga karena ‘waktu senggang’ sebenarnya hanya ada di angan-angan, bukankah dakwah senantiasa membentuk daftar panjang; menenti untuk diselesaikan. Seharusnya, akan selalu ada amanah untuk diselesaikan dalam konteks hal yang lebih bermanfaat daripada sekedar on-line. Untuk kondisi keempat, ini kasuistik. Kadang saya maksa juga. Tahan pengap asap rokok demi ngecek puluhan email, cari artikel seru, buat postingan terbaru, dan lain-lain.

Sebuah hobi sekaligus hal yang saya hindari. Aneh, bukan?.

Jadilah saya selalu aware pada diri sendiri kalau hasrat untuk main ke warnet menggoda. Tak terkecuali malam ini. Niat hati hanya ingin ngecek blog seorang kawan lama yang pada salah satu postingannya menceritakan tentang diri saya. (check: wow-smaragdina.blogspot.com). Tak ayal, lupa diri jua…
Ga tanggung-tanggung, pas pulang, gerbang kos sudah digembok dengan manisnya. Masya Allah, Am I terribly late?? Warnet yang begitu dekat (menyatu dengan kost saya, hanya dipisahkan dengan pintu gerbang tinggi bergembok sangat manis pada gagangnya) membuat saya terkadang begitu enteng melangkahkan kaki kesana (dan begitu berat melangkahkan kaki beranjak pulang).
“ Baruuu… saja tutupnya, Mbak,” kata seorang tukang parkir yang telah biasa melihat bapak kos kami menggembok pintu gerbang.

Saya meghela napas, merasa maluuuu… sekali pada bapak itu. Malu pada orang-orang yang lewat. Malu pada Memey yang saya SMS minta bukain gerbang. Malu pada Allah SWT. Beginikah cara saya menutup hari ini? Batin saya ternyata membenci tindakan jasadnya.

Saya tulis, agar menjadi pelajaran. Saya amalkan, semoga menjadi sebuah perbaikan. Insya Allah…

current date; 180408

Wednesday, February 13, 2008

welcometomysecretgarden

Akhirnya bikin blog lagi. Begitulah, account saya di situs lain sebenarnya ada. Tapi kok sulit dipakenya, yak? (gaptek yang diperhalus). Yang jelas saya suka dunia tulis-menulis. Dan lebih jauh, ingin dikenal dari tulisan saya (kalo editor senior saya di redaksi majalah bilang, "Saya ingin mati karena tulisan saya". Mungkin kecintaannya pada dunia kepenulisan sudah sampai pada titik ekstrim).
Eniwei, thanks to my friend, Honey. Buka bloggernya menuntun saya untuk bikin account disini.
And let the story begins with... "Welcome to my secret garden."