Pages

Friday, February 20, 2009

Halaman Kosong...

Halaman kosong, di waktu yang kosong malam ini. Adakah waktu yang kosong itu? Saya tertawa, karena tahu jawabannya.

Halaman masih kosong, sekosong pikiran saya pada detik-detik paling sadar. Sekosong ruang-ruang yang saya temukan pada dimensi yang paling ramai. Sekosong suara orang-orang di telinga, yang saya dengar paling bising meneriakkan perubahan.

Sebuah halaman kosong, ditulis dengan tangan kosong. Entah untuk mengisi kekosongan, atau untuk mengosongkan isi. Sekosong jawaban-jawaban yang saya dapati atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sekosong nilai hampa. Sekosong batas harap dan putus asa.

Jadi,
Biarkanlah sebuah halaman kosong bercerita banyak hal. Bahkan tentang makna yang kosong.
Sekosong aku...

Friday, February 06, 2009

Surat Kaleng

Menjumpaimu, Bung, di belahan bumi yang jauh...


Assalamu'alaikum, apa kabar Bung?. Saya mungkin saja tahu jawaban Bung kalau ditanya tentang kabar. Dan rentetan cerita mengasyikkan tentang waktu yang terlampaui, tentang hidup. Saya menyukai cerita-cerita Anda, Bung. Dan semuanya cukup untuk membuat saya teringat-ingat sambil senyum-senyum sendiri.

Ahh.. Bung, pagi ini saya terbangun dari tidur dan menyalakan televisi. Berharap mendengar kabar yang baik seputar isu-isu negri kita ini. Tapi kabar baik sungguh jarang terdengar jika sudah bicara kesejahteraan bangsa. Saya ngenes...
Tapi sudahlah Bung, saya sekali ini menulis untuk Anda, jangan jadikan surat ini seperti teror. Kita kan kawan lama, pernah susah bareng, senang bareng. Anggaplah ini sebagai silaturahim saya, kawan lama yang begitu bangga pernah dekat dengan Bung jaman kita studi dulu. Itung-itung, saya tidak hadir (tidak diundang) waktu syukuran kelulusan Bung.

Bung (eh, saya merasa segan memanggil Anda dengan sapaan akrab kita dulu)- sekarang saya dengar sudah menjabat orang penting di kampung Anda ya? Wahwah selamat ya... Tidak nyangka deh, Anda kan dulu paling anti dengan birokrat dan menganggap hampir semua mereka 'orang nakal'. Saya lega sekali, dengan semua prasangka Bung kala itu, saya yakin Bung tidak ingin jadi salah satu diantara mereka yang dikatakan 'orang nakal' bukan?.

Jadi, bagaimana kemajuan yang sudah anda buat disana Bung? kalau saya terakhir kali pulang kampung di buat stres karena Ayah saya mengeluh terus soal pengiriman balok timah keluar perusahaan yang sering tersendat. Tau sendiri lah Bung, berapa kerugiannya kalau sehari saja terlambat diangkut. Yang bikin stres Bung, ulah birokrat yang 'nakal' tadi itu loh... Saya tidak tahu betul bahwa mereka ikut andil dalam prosedur pengiriman yang terkendala, sampai saya dengar sendiri Ayah saya misuh-misuh dimintai duit segala Bung, apa nggak keterlaluan ya Bung!
Padahal waktu itu mbah putri saya baru meninggal dunia, dan kami sekeluarga masih berkabung, berkumpul di kediamannya. Tiba-tiba Ayah saya sudah sibuk dengan handphone, wara-wiri, rupanya disuruh antar duit dengan cepat. Saya yang bingung, akhirnya dikasih tahu, kata Ayahku, Pak Kapolda ngajak 'diskusi', biar pengiriman timah lancar. Harus siapin duit pula, katanya, yang bikin saya makin bingung. Rupanya 'diskusi' yang dimaksud itu... yah... Bung bisa tebak sendiri-lah.

Gimana-lah Bung, saya kaget bukan kepalang. Berani-beraninya ada orang melakukan tindak pemalakkan begini didepan mataku, dan tanpa risih sedikitpun, menembak Ayahku sekian juta untuk meloloskan pengiriman. Padahal prosedur legal yang dilakukan perusahaan, bukan ilegal. Jadi apa yang harus dipersulit, Bung?. Dan sungguh menggelikan bagaimana semua itu diselesaikan, yaitu dengan uang. Saya begitu shock, megulang-ulang pertanyaan pada Ayahku, "Dia minta terang-terangan, Yah? Minta sekian, gitu?".
"Iya, minta lima belas juta gitu" kata Ayahku.
Rasanya tertohok, Bung! Kemana urat malunya, alangkah edan di bulan Ramadhan melakukan tindakan malak begitu. Bung, di terminal-terminal pasar saja, preman-preman jalanan berhenti dari kegiatan malak, karena bulan Ramadhan. Mereka ganti profesi sementara jadi yang lebih manusiawi, seperti jual asinan, gorengan, atau paling banter duduk-duduk deket Istiqlal, ntar ada yang kasih infaq. Lha, orang ini malah terang2an memeras Ayahku. Bung... Bung... itukah sebabnya, Bung dulu begitu benci dengan mereka ini? Lantas sekarang masih benci atau tidak Bung? Adakah alasan yang dapat diterima terhadap tindak pemalakkan, atas sebuah prosedur pengiriman barang yang legal oleh sebuah perusahaan?. Saya jadi berpikir, pastilah jumlah THR untuk golongan si-pemalak ini dirasa kurang banyak baginya.

Bung, kalau ada teman-teman Anda yang seperti itu, tolonglah nasehati mereka perlahan-lahan. Saya kasihan dengan Ayah saya, Bung. Dulu Bung juga dekat dengan Ayah saya bukan? tanda-tanda cari perhatian, hehe...
Lebih kasihan lagi dengan teman-teman Bung itu, rejeki yang diambil dari perbuatan itu kan ndak halal. Eh, bener gak, Bung? Atau menurut Bung malah halal-halal saja? Ha3, saya kan sudah lama nggak diskusi nih Bung, siapa tahu saja sekarang pandangan Anda sudah berubah... Tapi, kalo saya bilang, itu nggak halal Bung.

Bung, karena kejadian tersebut, saya mati-matian cari sumber-sumber syariat. Saya tahu betul bahwa perbuatan suap dilarang Allah SWT. Saya menjelaskan pada Ayah saya(melaui diskusi yang alot) agar berhati-hati, jangan samapai tergelincir. Dan beliau bisa menerima itu, Alhamdulillah. Saya tidak tahu persis bagaimana akhirnya masalah tersebut ia selesaikan. Itu, Bung. Kalau kita sayang keluarga, kita lindungi mereka dari hal-hal keji. Dari api neraka, na'udzubillah...
Nah, bagaimana dengan Bung sendiri, sayang tidak dengan keluarga Bung? Dengan kerabat sesama pejabat dan birokrat? Dengan penduduk negri ini Bung? Sampai kapan kita menjerat masyarakat dengan prilaku yang dilarang Allah, dengan sistem suap menyuap yang membawa kita pada dosa? Siapa yang harus kita rubah, Bung? sistem ataukah orangnya? Katakan pada saya sebagaimana dulu Bung bercerita, dengan mata berbinar, tentang sebuah cita-cita besar untuk negri kita.

Bung, saya harap semua cerita itu kini bukan sekedar cerita lagi. Tapi perbuatan nyata. Semoga surat ini tidak memojokkan, seperti yang saya katakan di awal, melainkan menggugah Anda, paling tidak, jadi tahu apa perbuatan relasi Anda terhadap salah seorang warga sipil. Semoga memoar masa lalu senantiasa menjadi penyambung, untuk kebaikkan di masa datang.
Anda bebas menafsirkan makna Bung, bahkan jika Anda menganggap saya menaruh perhatian pada Anda.Sebagaimana orang mukmin harus saling menyayangi, nasehat-menasehati, dalam kebenaran dan kesabaran. Perasaan semacam itu normal, wajar, tidak ada yang aneh. Dan tak pernah pupus.

Tak usah dibalas Bung, pasti tak sempat. Jangan sibukkan diri Anda dengan membalas surat, berbuat sajalah.
Wassalamu'alaikum.

Tuesday, February 03, 2009

Set Me Free

“Kau percaya sekali pada kebebasan ya?”, tanya saya, retoris. Hani yang duduk di sebelahku, mengaduk-aduk gelas yang berisi es teh di hadapannya, tampak tenang.
“Ya. Kalau tidak, kenapa aku begitu memperjuangkannya?”, jawabnya kalem.
Hujan rintik2 di luar ruangan. Kami dalam kondisi setengah kuyup karena nekat menerobos hujan lebat dari prambanan, mampir untuk makan siang di sebuah restoran bali favoritku.
Obrolan terus mengalir, Tea menceritakan tentang beasiswa yang sedang ia tunggu hasilnya, sementara sebuah kampus di Belanda telah mengundangnya untuk tahun ajaran terdekat.
”Aku tertarik dengan hukum air. Skripsiku juga seputar itu,” ceritanya.
”Yeah, pernah dengar, siapa menguasai air, dia menguasai dunia?”, Hani menimpali. Mereka terkekeh-kekeh.
Langit masih menyisakan rintik-ritik hujan. Kami berempat membagi tempat di saung Bali yang luas, ditemani minuman teh dalam gelas yang tinggi-tinggi. Lama tak bertemu, membuat waktu seharian rasanya tidak cukup untuk berbagi kisah. Jika ada perubahan mencolok dari masing2 kita, tidak lain adalah cara pandang terhadap hidup. Ditengarai suara rintik hujan, dengan riuh rendah suara tiga sahabatku yang sedang asik berdiskusi, pikiranku melayang jauh. Mengenang kembali diri2 kami tujuh tahun yang lalu. Dengan seragam putih abu-abu, rasanya waktu itu baru kemarin. Saat kita begitu asyik dengan kehidupan ala remaja SMA. And life seemed so simple.
Dan jika ada hal yang tidak berubah sama sekali dari kita, adalah persahabatan itu sendiri.
Kita sahabat tua. Tua dan hebat.


***
Saya tidak pernah betul2 percaya pada kebebasan, bagiku itu hanya ada di awang-awang. Tidak ada manusia yang sepenuhnya bebas, selama ia manusia.
Manusia memiliki kecenderungan untuk membutuhkan ‘sesuatu’ di luar dirinya. Karena ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Itu pasti. Jadi selama kita manusia, kita bergantung dengan manusia lainnya. Maka dalam sudut pandang ini, manusia tidak bebas.
Manusia juga memiliki kecenderungan hasrat. Desire. Keinginan. Ini sifat dasar yang melekat pada diri. Namun tidak semua keinginan manusia dapat ia penuhi. Terutama jika keinginan itu terbentur dengan keinginan manusia lain. Dalam hal ini berarti, manusia juga tidak bebas.
Jika definisi kebebasan adalah ketika seseorang dapat melakukan apapun yang ia inginkan kapan pun dan di mana pun, saya akan dengan senang hati membeli tomat ke pasar dengan hanya membayar setengah harga. Untuk alasan yang sederhana; karena saya bebas menginginkan tomat itu. Tapi manalah mungkin hal itu saya lakukan, karena alasan sederhana pula; penjual tomat pun punya kebebasan untuk menjual tomatnya pada harga tertentu. Saya pasti akan dihajar preman pasar akibat ulah tersebut. Pak Adan Smith pasti akan tertawa tebahak-bahak melihat saya, karena ia pernah menasehati dunia dengan teori ’Tangan Tak Nampak’nya yang tersohor (yang padahal pada kenyataannya ’mengintip’ pemaparan ekonom muslim gemilang; Abu Ubayd). Dalam hukum kebebasan pasar, kekuasaan ada di tangan harga yang dibentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran. Jadi lihatlah, saya, tomat, dan si penjual tomat, bahkan tidak bebas dalam urusan ini. Ada mekanisme yang alami yang mengatur pengendalian atas kebebasan kami masing2.
Dan sebuah logika sederhana, ada ’bebas’, berarti ada ’tidak bebas’. Tapi bagaimana jika ’bebas’ itu sendiri sebenarnya adalah ’bebas yang terbatas’. Sama saja dengan ’tidak bebas’. Kepala saya puyeng dibuat oleh obrolan kami yang panjang...

”Jadi apakah makna bebas itu sebenarnya?”, saya meminta penjelasan pada hani. Hani membantuku memahami makna kebebasan sebagaimana ia pahami.
”Apa kita perlu memberi definisi terhadap ’bebas’ dulu?”, katanya, membuat kami tertawa dengan nada yang malas. Diskusi yang melelahkan.
”Aku akhirnya tidak percaya pada kebebasan, sebelum menemukan definisi secara jelas,” saya apatis.
Hani menatapku, ”Din, jadi kau hanya percaya pada hal2 yang terdefinisikan dengan jelas?”
”hmm...” saya tidak langsung menjawab, ”aku ’enggak percaya’ maksudnya, aku ’enggak akan memusingkannya’. Membiarkan, begitu tepatnya Aku memilih tema lain alih-alih ’kebebasan’ dalam hidupku.”
Kami semua tampak puas.
”Seperti aku tidak percaya pada cinta. Cinta sebelum pernikahan, tepatnya.” saya melebarkan diskusi, tema sekonyong-konyong berubah, jadi ‘cinta’.
“Dan itu artinya…” sahabat2 diskusiku kini lebih tampak seperti sahabat2 remaja bicara cinta pertama, antusias.
“Artinya cinta tidak akan menjadi pertimbanganku dalam memilih pasangan hidup,” pernyataanku barusan terdengar demikian sarkatis, bahkan bagi telingaku sendiri.
“Jadi, kau akan menikah karena apa…?”
Aku hanya tersenyum, ahh... terlalu naif untuk dijelaskan. Aku permisi mandi, teman2ku tidak mendapatkan jawaban memuaskan.

***

Demikianlah, tema2 seputar kebebasan selalu menarik untuk dibahas. Meski hingga saat mengedit kembali postingan ini-pun, saya belum paham betul maknanya. Saya ingin sekali memahaminya sebagaimana hani memahaminya. Saya selalu tertarik dengan hal-hal yang membuat seseorang meyakini sesuatu. Namun waktu terlalu singkat untuk itu semua.
Tema-tema tentang kebebasan juga selalu manarik bagiku. Terutama karena antithesis utama dari paham kebebasan adalah agama. Ketika seseorang menganut paham kebebasan, maka penjara utama baginya adalah agama. Mungkin karena agama secara eksplisit adalah benar dan salah. Dosa dan pahala. Neraka dan Surga. Sehingga wajahnya senantiasa tampak menyebalkan bagi orang-orang pengusung nilai kebebasan.
Saya teringat dengan petikkan ayat Al-Qur’an:
Laa ikrahaa fiddin... (QS Al-Baqarah : 256)
Tidak ada paksaan dalam beragama... Jadi, jika doktrin kebebasan menunjuk agama sebagai ’penjara’, setidaknya agama tidak pernah menunjuk penganutnya sebagai ’terpidana’.
”Mengapa pula aku ingin bebas? ” tanyaku. “Beginipun aku bahagia, tidak pernah merasa terkungkung dengan syariat yang kuyakini.”
”Mengapa kita harus memperdebatkan sesuatu yang kita tahu dalam hati, kita menginginkannya. Kita semua ingin bebas, kan? Siapa yang tidak mau bebas?” jawaban menyambut saya.

Saya terdiam lama. Tiga hari yang menyenangkan bersama Dita, Tea’, dan Hani (Nyek), sahabat2 tua-ku ini, tidak ingin kuisi dengan hal2 lain lagi. Selain mengetahui bahwa kami baik2 saja. Kami masih waras, masih menegakkan shalat lima waktu. Dan kami masih sahabat, saya berdoa semoga kita akan baik2 saja dengan itu semua, bukan begitu kawan-kawan ?.

Akhirnya hati-lah yang menguasai diri saya, ”Dari semua hal yang harus saya temukan dalam hidup ini, hanyalah sebuah hakekat tentang kebenaran Tuhan. Setelahnya, tinggal mengikuti aturan Tuhan saja. Tak perlu lagi mencari kebenaran neraka dan surga, kebebasan dan kekuasaan... Aku yakin semua akan berjalan baik2 saja. Karena ada Tuhan. Dan Tuhan, bukan kebebasan.”
Hani berkata, ”Kau masih Dinda yang dulu.”
Aku pun berkata, ”Jauh di dalam sana, kau tetap Hani yang kukenal dulu.”




Ini untuk Hani yang mengaku humanis, setelah sempat radikal dengan feminisme
Untuk Dita yang sibuk dengan indeks saham gabungan, 8 to 5 setiap hari,
dan untuk Tea’ yang mengaku feminis, dan menolak segala hal di luar ‘intelegensia’
Kalian memang inspirasi!

Sunday, February 01, 2009

Untuk Ibu

Mumy... Happy Birthday...
Saya punya kebiasaan saat sedang berulang tahun, saat semua orang mengucap selamat padaku, saya mengucapkan selamat pada ibuku.

Ibuku: ”Selamat ulang tahun ya, nak... Semoga cepet lulus, dikasih yang terbaik oleh Allah...”
Saya: ”Makasih Mi... Mumy juga selamat yah..”
Ibuku: “Selamat kanapa?”
Saya: “Selamat hari melahirkan aku… Bukan hanya Dinda yang selamat, Mumy juga kan udah berjuang keras hari itu. Makasih ya Mi... ”
Ibuku: *tertawa ”Iya, maksih ya sayang..”

Jadi, pas milad, Mum mengucapkan selamat hari lahir padaku. Dan aku dengan senang hati mengucapkan selamat hari melahirkan padanya. Beliau ibu. Yang menanggung semua perih saat memperjuangkan satu nyawa terlahir ke dunia hari itu. Rasanya tidak adil jika kebahagiaan hari lahir hanya menjadi milik si anak. Jadi jika Anda berulang tahun, Jadikanlah itu moment, tidak hanya untuk mengenang diri Anda sendiri, tapi juga untuk sesorang yang pada hari itu begitu berjasa, mempertaruhkan maut demi nyawa Anda.
Nah, hari ini Mum berulang tahun, aku minta Mum melakukan hal yang sama pada nenek. ”Mi, Mumy ucapin juga ke Nenek dong. Selamat hari melahirkan...”, dan ibuku hanya tertawa.

Dari kecil, kalau Mum ulang tahun, aku pasti menawarkan hadiah padanya.
”Mumy mau hadiah apa dariku?”. Tapi Mum tidak pernah menjawab eksplisit, mungkin karena aku masih kecil. Biasanya Mum tersenyum, lalu balik bertanya, ”Adek mau kasih hadiah apa emang? Mami terserah dikasih apa saja yang adek suka.” Siip. Mum bilang apa saja yang aku suka. Anda tahu, tanpa pikir panjang, saya ke warung terdekat dan beli aneka coklat yang saya suka. Minta penjualnya di bungkus kado, atau saya bungkus sendri, atau kadang tanpa bungkusan formal, paling banter pake kompek (kresek item). Lalu bikin kartu ucapan. Lalu kasih ke Mum dengan gaya yang surprise abis. Dan setelah mengucapkan terima kasih, membuka isinya, Mum akan mengembalikan coklat2 itu padaku. Mum sendiri tidak kebagian apa2. Boro2 marah dan manyun, Mum biasanya tertawa dengan kebiasaanku ini. Selalu begitu. Tiap tahun Cuma berubah jenis jajanannya saja. Tahun ini coklat, tahun depan bisa Taro, bisa Chiki, bisa Chotose, dan Chi yang lainnya. The point is… sesuatu yang akan berakhir untukku. Begitulah Mum mendapat hadiah dariku bertahun-tahun lamanya. Tapi tebaklah, beliau mengingat terus kenangan ini, dan untuknya, moment2 tersebut begitu berarti. Sampai Sekarang jika saya menanyakannya, “Mi, mau hadiah apa nih Mi..” beliau akan menjawab santai “Jangan coklat deh, ntar adek yang makan sendiri.” Dan kami berdua akan tertawa.

Tiga hari yang lalu, saya bertemu kakakku sedang online. Pada statusnya tertulis, Happy birthday Mumy. Saya pun ngobrol dengannya, tentang rencana memberikan surprise untuk Mum. Tapi selalu, kado yang kami hadiahkan kalah gengsi dengan pemberian Ayah. Kami mengahdiahkan paling banter kecupan di pipi Mum, plus mini tart (padahal Mum biasanya sudah bikin black forest sendiri, dan lebih enak). Tapi biarlah.. Mum memang ratu di hati kami semua.

“Mumy, selamat ualng tahun yah… Dinda, Kakak, dan Lala mau bilang makasih untuk Mumy. Yang sejak kami melihat dunia, Mumy selalu ada disana. Yang telah menjadi sahabat terbaik bagi kami sejak kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Yang membantu kami mandiri, berkepribadian, dan penuh kasih sayang. Yang mendoakan kami siang dan malam. Mumy sangat banyak membantu kami, hingga menjadi diri kami seperti saat ini. We loph u so, Mi...”

PS: Ayah nitip salam. Cowok Mum itu bilang katanya blog ini nanti mau diliatin ke Mumy. Hihihi... SURPRISE!!!!