Pages

Wednesday, November 26, 2008

A Walk of Reflection

Pagi sendu itu, kupakai sepatuku. Kunaikkan kancing resleting jaket hingga menyentuh daguku. Entah jam berapa pagi itu, aku tidak ingin membawa apa-apa. Sengaja saya meninggalkan HP dalam keadaan menyala, dompet juga tidak usah dibawa. Kukantongi saja sebuah mushaf Al-qur'an yang telah bermanja-manja dengan kedua mata ini sejak saya duduk si bangku SMA.
Saya memerlukan ini, saat kepala saya rasanya sudah penuh dengan permasalahan, atau rutinitas hidup sedang membawa saya pada kejenuhan. Saat beban pikiran menuntut konsentrasi penuh, dan saat mulai sulit mencari kembali makna kebahagiaan dalam perjuangan ini. A walk early in the morning, finding the lost me...

Pagi sendu itu, matahari bahkan masih malu-malu menunjukkan semburatnya. Saya mengambil arah menjauhi keramaian kota. Berjalan kaki, menyibak misteri bagaimana Tuhan meramaikan bumi. Apakah alam ini selalu terjaga, saya bertanya-tanya. Saya tersenyum getir, saat melewati barisan ilalang, Mereka terangguk-angguk dipermainkan bulir embun yang berebut menetes dari ujung daunnya. Tidak lelah dan tidak tidur, saya yakin, makhluk Allah yang satu ini, mengisi siang dan malamnya dengan lantunan dzikir pada Rabb Sang Pencipta. Saya membatin, apakah kau juga sedang cemas, hai ilalang. Bumi ini semakin tua, manusia semakin lupa. Sementara engkau menyaksikan.
Dari kejauhan saya menyaksikan rombongan pedagang. Mereka pasti mau ke pasar terdekat. Membopong pisang, karung-karung berisi bawang merah, Umbi-umbian, dan lain-lainnya. Mereka melintas. Saya memandang salah satu dari mereka yang sedang sibuk bicara, bersenda gurau. Karung-karung yang mereka bawa itu... Ah...cukupkah itu ditukar dengan biaya hidup yang kini kian melambung. Wajah-wajah penuh canda itu...tak dapat menutupi raut kesulitan yang membelenggu hidup mereka, ekspresi beban hidup yang mereka pikul sampai entah kapan. Saya membayangkan dirumahnya terdapat enam sampai tujuh orang anak melepas kepergiannya pagi ini menjemput rizki. Saya menoleh lagi, menengok mereka. Sebuah Spanduk dipasang tinggi bergambar wajah seorang tokoh politik yang sedang mencoba peruntungannya melatar belakangi pemandangan saya kini. Pemandangan yang kontras. Orang besar dengan orang kecil dalam sketsa jalanan sepi pagi ini. Mereka, para pedagang itu, mungkin tidak pernah tahu kesulitan yang membayang dunia saat ini ditengah krisis global. Mereka bagai urutan terkecil dari sebuah rantai makanan; sasaran utama dimangsa. Cukuplah beban hidup,mereka tidak pernah menuntut banyak. Selain harga kebutuhan hidup yang murah, biaya pendidikan dan kesehatan yang dapat dijangkau orang-orang kerdil. Tidak lebih dari jaminan atas hidup yang keras ini. Sedangkan para politikus bak predator yang jadi rantai terakhir dimana semua semua spesies berakhir di perutnya; kenyang. Tiba-tiba saya tersadar bahwa dakwah ini bukan pekerjaan sederhana. Saya teringat dengan Abu Bakar ra dan Umar ra. Yang mungkin menangis jika berjumpa ummatnya dalam keadaaan demikian menderita. Begitu jauh kondisi ummat Islam saat ini, dimana saya hanya dapat memandang kawanan orang-orang kecil itu lewat, kelu, tanpa dapat berbuat lebih.
Saya memohon ampun pada Allah, berjanji bahwa pekerjaan yang panjang ini tidak akan pernah saya tinggalkan karena alasan apapun.
Saya sampai di padang rumput yang cukup luas. Disisinya terdapat bukit kecil dengan bebatuan yang berundak-undak. Berlatar pemandangan yang tiba-tiba menggetarkan jiwa saya sangat hebat; Merapi. Suasana pagi itu menciptakan siluet yang sangat indah di utara tanah Jogja. Gunung merapi, dengan asap tipis panjang horizontal dipuncaknya, angkuh dan memesona. Saya berdiri diatas undakan bebatuan, mencoba sejajar dengan sosok Merapi. Saya maknai dalam-dalam tatap muka saya pagi ini dengannya. Jiwa saya bergetar hebat saat dalam hati bergumam menyapanya dengan salam. Gunung-gununglah yang terlebih dahulu ditawarkan Allah untuk menjadi khalifah dimuka bumi sebelum manusia. Dan ia menolaknya. Ia merasa tidak sanggup dan takut mengecewakan Allah SWT. Jatuhlah amanah itu kepada manusia dengan segala keistimewaannya. Manusia yang kauh lebih kerdil secara jasadiyah dibandingkan dengan sebuah gunung. Manusia dengan segala kecenderungannya untuk lalai, lemah, dan mengeluh.
Jadi kita sampai disini, batinku. Al-Qur'an menyimpan perkataan Allah SWT bahwa gunung-gunung yang kita kira diam pada tempatnya sebenarnya bergerak. Mereka berpindah tempat dan berjalan dimuka bumi yang dalam ilmu geografis mungkin dapat kita terjemahkan menjadi penyebab gempa, cekungan, patahan, dan sebagainya. Merapi dan gunung-gunung lain yang tersebar di penjuru bumi adalah saksi sebuah pertaruhan gengsi masa lalu. Sebuah gengsi berbingkai takwa pada Allah SWT. Kini kita hidup berdampingn dengan mereka. Berbuat semaunya tanpa menyadari bahwa mereka mengawasi.
Saya tertegun mendapati diriku pagi ini begitu malu terhadap makhluk Allah yang raksasa ini. Begitu kecil daya dan ketahanan saya sebagai seorang hamba. Padahal sejarah telah memenangkan kita di antara seleksi menjadi khalifah.
Sadarlah saya bahwa hidup telah punya prolog. Telah tertulis disana segalanya.
Saya melangkah pulang. ruang-ruang kosong itu kini terisi kembali. Saya tersenyum, mengharap gunung itu, ilalang tadi, dan mungkin para malaikat yang bertemu sepanjang jalan mendoakan saya. Agar kuat kaki saya menancap pada dakwah.
Pulangnya saya menganbil jalan pintas, saya ingin cepat sampai.


Sebuah analogi, terkadang aku menoleh. Tapi aku tahu bukan saatnya untuk berhanti.

Sunday, November 02, 2008

The Kids Around

Ammah...
"ikan paus bahasa inggrisnya apa?"
"kalo pelangi apa?"
"trus kalo cicak, mah...?"
Ammah dinda...
"pampers wildan minta diganti..."
"buatin susu coklat dong, mah..."
"mau nonton power rangers, pokoknya power rangers!!"
Ammah dinda...
"Buatin gambar bunga"
"pakein baju yang ini"
"aku mau itu!! mau yang itu, mah..."
Ammah...
"ikut naek motor"
"gendong, ammah! gendooongg...."
Ammah....
"kenapa ini engga boleh dibuka??"
"leher ammah mana sih?? kok engga keliatan..."
"rambut ammah mana, liat!! lihat, ammah!!"
Ammah dinda...
"jogja itu dimana?"
"Nanti ammah ke sini lagi kan, mah?"
yah, mah!!!


Teringat dengan ocehan kalian.
Cendol-cendol (kids) nun jauh di sana. Ammah love you guys...
Kak Vio dan e-an (raihan)
Kak nisa dan danti
Syifa dan shira
A-al (si anhal) dan ating (fathir)
Bang ari dan menya (sharfina)
Ivald dan icha (aisha)
Ilga, sahsa, dan dede barunya
Dhea dan farhan
Daffa yang pemalu
Dede Valdo...
dan kesayangan ammah dinda dan tante wita,sang raja iler, si kembar fauzan dan wildan

Tiba-tiba ammah kangen...
Siapa mau main ke pantai...?. Dan cendol-cendol itu biasanya langsung bersorak, "Akuuu...ikut, mah.. Ikut, mah!!". Riuh!