Pages

Saturday, December 06, 2008

Memo Macan

Kereta merambat pelan. Gerbong sunyi, orang2 mulai mengantuk. Kurang lebih pukul 23.10 WIB. Membuka "colonel yakiniku" yang sempet2nya saya beli sebelum berangkat, rasa lapar sebenarnya tidak terlalu. Tapi memaksa diri saja-lah. Mata terasa berat, kupercepat aktifitas makan malam sambil mengingat hal2 yang harus dilakukan setiba di Jakarta, besok pagi. Seseorang disebelahku telah tidur. Buku-buku yang sengaja kubawa sebagai 'teman' tertumpuk di sisi jendela gerbong. Demi menyelesaikan beberapa lembar halaman, kutahan-tahan saja rasa kantuk. Masih meladeni sms beberapa teman, tiba2 seseorang memanggilku, "Din, boleh liat buku-bukunya?".
Saya mengoper empat buku sekaligus ke bangku belakang tanpa berucap apa-apa. Marcel menangkap tangkas. Wisnu duduk disebelahnya, terdengar asyik dengan suara-suara (entah dari TV-HP yang mereka bawa atau mungkin DVD player)yang tampaknya adegan film. Di luar dugaan malam ini ketemu mereka, ternyata marcel 'boyongan' (pindahan) ke kota asalnya, Jakarta. sedangkan wisnu dalam misi jalan-jalan. Mereka berdua temen saya jaman kuliah masih padet2nya.
Iseng, saya bertanya pada mereka, "Apa nih rencana berikutnya setelah pada lulus?".

Wisnu : "Saya mah cari kerja mbak (panggilan akrab wisnu untuk saya), ntar tiga bulan nda dapat, saya lanjut profesi.."

Marcel : "Kalo gua din, kerja, trus nikah!" (yang segera kutimpali dengan "Standar amat cita2 mu..". Marcel terbahak-bahak, mangkel.

Aku sendirian saja malam ini dalam perjalanan menuju Jakarta dan paginya melanjutkan perjalanan udara ke tempat dimana kangen berlabuh; Bangka.
Setelah habis topik kami tentang planning masa depan yang tidak jelas juntrungnya, saya kembali berkonsentrasi pada bacaan. Tidak lama, mengambil posisi paling nyaman, tidur.

***

"Pada dasarnya prosedur normal tetap dijalankan...Tapi, hahaha... kan banyak 'titipan' masuk, kalo megang 'memo macan' mantep-lah...".
"titipan? memo macan?", saya minta penjelasan tambahan.
"Yaahahaha... memo..eh..titah dari 'orang berpengaruh' katakan gitu...", Pria yang sedari tadi malam menempati seat di sebelahku berujar akrab. Ia bekerja di BPK dan ingin pulang ke Jakarta dari perjalanan tugas ke Malang. Itu jawabannya saat kami ngobrol tentang nasib yang membayangi tenaga kerja fresh graduate di negri ini. Tidak banyak yang survive pada awalnya, biasanya lantang-luntung jadi kontraktor dengan kinerja setara karyawan, kompensasi minim. Berapa banyak kini, bahkan perusahan besar sekalipun mempekerjakan orang dengan sistem kontrak, perbulan lagi!. Saya teringat dengan nasib beberapa teman. Mata pria itu menerawang seiring cerita-cerita yang mengalir, memecah bekunya suasana dalam gerbong kereta pagi itu.
"Untuk jadi seperti Bapak seperti sekarang, pasti skill akuntansi-nya harus qualified ya Pak?", awal pembicaraan saya, penuh basa-basi.
"Ohh.. tidak juga. Saya background-nya malah bukan akuntan. Tapi, yah... karena udah lama di BPK, skill udah setara kalian yang lulusan S1 akuntan gitu." Saya tertawa,pastinya sudah lebih dari saya, bukan lagi setara. Pengalaman kerja bertahun-0tahun, mana ada di bangku kuliah...
"Kalo saat ini banyak akuntannya atau auditor di BPK, Pak?"
"Mmm... akuntan saya rasa."
Ah...dunia kerja hari ini, pikirku. Persaingan dalam dunia kerja sepuluh tahun yang lalu sudah tidak sama dengan hari ini. Kalo jaman dulu orang-orang yang sudah mengantongi gelar insinyur rasanya cukup untuk melenggang masuk dunia kerja. Hari ini, sekedar ijazah S1 terbukti tidak cukup memuaskan. Tapi mau melanjutkan, juga bukan jaminan untuk lolos persaingan. Saya diam, bingung memaknai. Terlihat dari punggung teman bicaraku ini, Marcel dan Wisnu yang tampak membereskan barang-barang mereka, bersiap-siap untuk turun. Wajah-wajah lulusan S1, yang semalam begitu lancar mengutarakan planning hidup mereka kedepan.
Ah...dunia kerja. Bagaimana individu2 saat ini tidak semakin terseret dalam pemikiran oportunistik? Tersita umur mikirin dirinya sendiri. Siapa yang mau mikirin ummat?? Saya merasa naif, tapi tak terelakkan harapan dalam hati saya terlintas jua, agar mereka, teman-temanku itu juga telah mempersiapkan planning untuk karir paling pahit sekalipun yang akan mereka hadapi kelak. Dan bukannya 'memo macan'.
Bapak itu masih bercerita, tentang putra putrinya. Aku mendengarkan, kisah hidup selalu menarik untukku. Kalau hidup tiap manusia itu adalah seutas tali, kita tidak tahu akan dipertemukan pada simpul yang mana. Aku tidak sedang mencampuri hidup orang lain, bukan. But i'm living my own beautiful life. Hanya saja saat ini sedang menemukan simpulnya pada si Bapak (yang lupa kutanyakan namanya hingga berpisah di Gambir!).
Kereta semakin merambat, hingga berhenti sepenuhnya. Sekitar pukul 08.00 WIB, suasana menghangat diluar gerbong. Aku mengucapkan salam padanya sebelum menghilang di balik kerumunan orang-orang.


6 Desember 08, another trip another story.