Pages

Thursday, January 03, 2013

For the better next generation... (Part Two)

Masih terkait kasus pembunuhan massal murid-murid SD Sandy Hook, Conncticut US jumat 14 Desember 2012 lalu. Baca pembukaannya aja udah bikin bergidik, Masha Allah...

Sungguh... sungguh gak terbayangkan kejinya... Gimana itu anak-anak TK yang jadi korban (Usia 6-7 thn) ditodongin postol otomatis (yang kayak di film2 perang itu). Cobak, bayangkan rasa takutnya... bayangkan pandangan matanya yang bening, polos tak berdosa.  Bayangkan mereka dibesarkan orang tuanya dengan kasih sayang. Dirumah dicintai, dipelihara sebaik mungkin. Diantar baik2 ke sekolah pagi itu, tau-tau ketemu orang stres bernama Adam Lanza. Dibandrol peluru membabi buta, Astaghfirullah... ya Allah... Pedih hati.

Jika di postingan part one saya mengetengahkan topik dari sisi korban. Sebenernya target utama saya adalah postingan part two ini yaitu yang akan mengangkat topik dari sisi pelaku terror semacam ini. Pendidikan karakter anak-anak kita, makanya saya beri judul "For the better next generation".

Mendengar dan menyaksikan berita2 pembunuhan massal ini, satu pertanyaan yang pasti mencuat di benak kita: What drove him to do such a horrible thing?. He once a darling little baby, he once a cute little kid, really... what made him grow to be a killer that could commited masscare and terror?

Adam Lanza (20th) pelaku penembakan massal SD Sandy Hook 14 Desember 2012 lalu, juga membunuh ibu kandungnya sebelum mencuri senjata otomatis dan mobil milik ibunya untuk melakukan aksinya di SD Sandy Hook. Aksi ini diakhiri dengan menghabisi nyawanya sendiri. Tidak banyak fakta diungkap ke publik sehubungan penyidikan yang masih berjalan. Well, yang saya maksudkan fakta yang "penting" selain data bahwa bahwa Adam Lanza ini seorang "pemalu", suka berpakaian lebih formal dibandingkan kawan2 disekolahnya (kemeja yang kebesaran dan celana khaki serta koper hitam), orang tuanya bercerai, ibunya kolektor senjata dan seorang prepper, dan lainnya. Because really... Saya gak bisa membayangkan bagaimana seorang anak bisa menghabisi nyawa ibu kandungnya (dengan beberapa tembakan dibagian wajah!). Kebencian apa yang memenuhi dirinya berbuat sekeji itu. Alasan apa yang mampu menjadi pembenaran baginya sampai datang ke sekolah dan memuntahkan amarahnya pada anak-anak tak bersalah.
Tapi memang belum banyak fakta hasil penyidikan yang dapat diungkap ke publik. Saya ingin terus mengikuti kasus seperti ini agar dapat menjadi pembelajaran. Tidak seorangpun di dunia ini berharap ada Adam Lanza - Adam Lanza berikutnya, betul ngga?

Kasus serupa sebenarnya sudah beberapa kali terjadi di US. Sebutlah yang tak kalah meninggalkan bekas di memori saya adalah kasus penembakan massal Eric Harris (18th) dan Dylan Klebold (17th) yang datang ke sekolah mereka SMA Columbine High pada satu hari yang cerah di April 1999 untuk melakukan aksi pengeboman dan penembakan massal hingga menewaskan 15 orang murid dan mencederai lebih banyak lagi. Mereka hanya anak usia tanggung, remaja yang pada tahap pencarian jati diri. Bagaimana anak-anak itu bisa menjadi seorang pembunuh yang penuh kebencian hanya dalam usia yang demikian belia? Apa yang berbeda dari cara orangtua dalam membesarkan dan mendidik anak2nya? Apa yang didengar? Apa yang dilihat? Apa yang telah dialami dan dilalui Harris, Klebold, dan Lanza sehingga mereka demikian marah dan benci pada semua orang?

Pembaca yang baik, orang tua Harris dan Klebold dalam penyataannya pada media, mengatakan bahwa mereka tidak mengerti apa yang membuat anak-anak mereka melakukannya. Eric Harris dalam jurnal pribadinya (yang saya unduh dan baca sampe khatam) bahkan menyebut dirinya sebagai NBK yang merupakan singkatan dari Natural-Born Killer. Membaca jurnal pribadi Harris ini sungguh ya, menguras emosi... Di dalemnya dia banyak menuliskan kemarahan dan kebenciannya pada kehidupan. Beberapa juga tentang kebenciannya pada dirinya sendiri, pada wajahnya yang menurut dia sering jadi olok-olokkan kawan-kawannya. Dan yang paling bikin saya getir adalah beberapa potong kalimat dalam tulisannya seperti:  I am full of hate. And I love it.

Tepat hari sabtu dan minggu setelah kejadian Sandy Hook, saya dan suami mengikuti sebuah seminar parenting yang diadakan oleh sahabat-sahabat kami disini. Mendatangkan seorang psikolog dan konsultan pendidikan anak dan rumah tangga. Sebenernya tidak ada hal yang baru. Tapi mengaitkan topik-topik parenting ini dengan kasus-kasus aktual yang baru saja terjadi rasanya benar2 sebuah pencerahan. Ooo... ternyata sikap orang tua yang sesepele itu bisa "merusak" jiwa anak separah itu ya?

Masalahnya adalah, sudah baik-baik dicontohkan di rumah pun, mereka masih harus berhadapan dengan dunia luar. Bisa jadi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga besar, lingkungan tempat tinggal, dlsb. Jadi bisa dibayangkan, kalo lingkungan di luar kurang "positif" maka di rumahlah iklim positif tersebut bisa kita ciptakan. Yang paling parah adalah udah di luar rumah kurang "positif", di rumah pun anak tidak menemukan rasa secure. Yang bisa saya bayangkan inilah cikal bakal tumbuhnya kepribadian-kepribadian yang memberontak, yang Rebel, yang merusak..

Eric Harris dan Dylan Klebold benci sekali dengan teman2 mereka karena suka di bully. Meskipun hal ini seharusnya tidak cukup menjadi alasan mereka melakukan aksi pembantaian yang masuk sejarah terburuk di Amerika. Seharusnya tidak cukup menjadi alasan, kalau saja mereka punya dukungan yang kuat dari rumah. Saya tidak bisa mengerti Harris dan Klebold, tapi sungguh, seharusnya mereka tidak perlu melakukannya jika saja ada orangtua yang lebih mendengarkan. Keluarga yang lebih memperhatikan. Atau mungkin guru, yang lebih peduli. Seberat apapun masalah anak-anak kita di luar rumah, seharusnya mereka tidak menemukannya di rumah. Karena rumah (keluarga-red) lah, institusi terkecil kita di dunia ini. Seberat apa pun tantangan di luar sana, institusi ini seharusnya mampu mendukung kita untuk survive.

Penting sekali untuk selalu ber-kasih dan sayang dalam keluarga kita. Tunjukkan itu ke pasangan-pasangan kita, dan anak-anak kita. Agar mereka merasa secure. Agar mereka lebih cenderung pada rasa kasih sayang ketimbang kebencian. Agar mereka dapat belajar tentang rasa marah dan benci yang dibenarkan. Karena fitrah mereka..kita semua.. sebetulnya adalah cenderung pada kebaikan, kan kita manusia!. Jadi apa yang menyebabkan seorang anak yang fitrah tumbuh menjadi sosok-sosok seperti Adam Lanza, Eric Harris, dan Dylan Klebold ?? Wallahu a'lam bishawab... tapi tentunya ada yang salah. Tentunya! Sayang fakta2 seputar childhood mereka gak banyak diungkap ke publik, mungkin demi alasan privasi. Padahal kita perlu sekali belajar dari hal-hal semacam ini. For the better next generation.

2 comments:

diah said...

kejadian-kejadian seperti yang mbak tulis selalu membuat kekhawatiran yg bertambah-tambah tentang bagaimana sy membesarkan anak2 sy. sudahkah sy melakukan hal yg benar sehingga mereka tumbuh menjadi anak yg secara mental dan fisik kuat u/ menghadapi dunia luar dimana kami selaku ortu ga bs lg melindungi mereka...smoga qt bs menjadi ortu yg baik..dan smg anak2 slalu dlm lindungan Allah SWT

Dinda Jayanti said...

Betul tuh Mba, suka worried disatu sisi, disisi lain gak pengin membatasi tumbuh kembang anak-anak.
Kita emang gak mungkin bisa mba, mengawasin dan menjaga anak2 kita 24 jam. Cuman Allah yang bisa :)